Refleksi Kritis atas Dinamika Kepemimpinan Pesantren Muhammadiyah
Oleh: Andik Irawan
Di tengah geliat kebangkitan pesantren Muhammadiyah, muncul sebuah kegelisahan yang diam-diam dirasakan oleh sebagian besar pimpinan pondok yang tumbuh dari nol: rasa tidak dihargai.
Tak sedikit kisah di mana seorang mudir pondok telah membanting tulang sejak pondok hanya berdinding triplek, tidur di atas kardus, dan makan seadanya. Namun saat pondok mulai besar, dikenal publik, bahkan mencetak kader unggulan, sang pimpinan justru diganti secara sepihak. Tanpa musyawarah terbuka. Tanpa penghargaan yang layak.
Fenomena ini nyata. Dan harus diakui, ini bukan semata persoalan emosional atau kecewa pribadi, tapi juga refleksi dari sistem yang—meski profesional—kadang kehilangan sisi humanisnya.
Sistem Kolektif vs Loyalitas Personal
Muhammadiyah memang menjunjung tinggi sistem kolektif-kolegial. Semua jabatan adalah amanah organisasi, bukan milik individu. Tidak ada kiai sentral. Tidak ada trah keluarga. Tidak ada “hak milik” atas pesantren.
Namun, di titik tertentu, pendekatan struktural ini menjadi bumerang. Ia menciptakan jarak antara birokrasi dan perjuangan riil di lapangan. Para penggerak yang membesarkan amal usaha dengan cinta dan darah, mendadak ditarik, diganti, atau dibatasi tanpa ruang dialog.
Apa yang tersisa setelah itu? Kekecewaan. Dan kadang, kehilangan semangat untuk terus berkarya dalam gerakan.
Butuh Sistem Apresiasi, Bukan Sekadar SK
Muhammadiyah tidak perlu mengubah jati dirinya. Tapi ia butuh evolusi budaya organisasi—yakni budaya yang menghargai proses, bukan hanya hasil. Budaya yang tidak sekadar mengganti pimpinan berdasarkan SK periodik, tapi juga menumbuhkan kaderisasi, memberi ruang penghormatan, dan mengabadikan perjuangan.
Kita butuh sistem legacy, bukan hanya sistem rotasi.
Bayangkan jika setiap pesantren Muhammadiyah punya “papan penghargaan” untuk pendirinya. Bayangkan jika pimpinan lama diberi ruang sebagai pembina kehormatan. Atau minimal, diajak bicara sebelum diganti.
Itu bukan formalitas. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap ruh perjuangan yang membesarkan Muhammadiyah selama ini.
Mari Kita Kembali ke Niat Awal
Muhammadiyah berdiri untuk mengangkat derajat umat, bukan mematikan semangat kader. Jika pergantian dilakukan demi profesionalisme, maka profesionalisme itu harus dibarengi dengan etika dan empati.
Dan bagi para penggerak: ikhlas itu penting, tapi jangan diam. Suarakan kebenaran dengan cara yang santun. Karena gerakan akan tumbuh sehat bukan dengan ketaatan buta, tapi dengan dialog dan keberanian menyampaikan keresahan.
Penutup: Semoga tulisan ini bukan hanya menjadi curahan hati. Tapi menjadi cermin. Bahwa dalam tubuh besar Muhammadiyah, kita semua adalah pelayan. Tapi pelayan pun layak untuk dihargai, bukan hanya diganti.