Setiap tahun, pemandangan ini terus berulang: sekelompok pemuda atau remaja dari sebuah organisasi sosial sibuk mencetak proposal, lalu mengantarkannya ke rumah-rumah warga yang dianggap “mampu secara finansial.” Tujuannya? Untuk mendanai kegiatan tahunan organisasi mereka. Tidak jarang, proposal yang dibagikan pun hanya diganti tahun dan tanggal, isinya tetap sama dari tahun ke tahun.
Fenomena ini seolah menjadi budaya yang sudah mengakar. Yang kaya didatangi, yang muda menadahkan proposal, dan kegiatan organisasi pun berjalan—sementara makna mendalam dari proses berorganisasi pelan-pelan hilang ditelan kebiasaan instan.
Mengapa Ini Terjadi?
Budaya ini muncul karena sejak awal banyak organisasi remaja dibentuk tanpa fondasi pendidikan organisasi yang kuat. Tak ada pelatihan manajemen, tak ada pembinaan soal kewirausahaan sosial, dan tak ada dorongan untuk berpikir kreatif dalam mencari solusi pendanaan. Akibatnya, generasi demi generasi tumbuh dengan pola pikir: “Kalau mau adakan kegiatan, tinggal minta dana ke orang kaya.”
Padahal, esensi berorganisasi sejatinya adalah ruang belajar. Di dalamnya, pemuda bisa belajar tanggung jawab, merencanakan kegiatan, dan—yang terpenting—belajar menjadi mandiri.
Dampak dari Ketergantungan
Ketergantungan pada donatur bukan hanya mematikan kreativitas, tapi juga membuat organisasi jalan di tempat. Tidak ada inovasi, tidak ada evaluasi yang sungguh-sungguh, dan tidak ada semangat untuk berdaya. Lebih parah lagi, ini menciptakan mentalitas “penunggu bantuan”, bukan “pencipta solusi”.
Tanpa disadari, budaya proposal ini juga memperkuat ketimpangan sosial. Yang satu diposisikan sebagai penolong, yang lain sebagai peminta. Hubungan ini tidak setara, dan pada akhirnya, tidak mendidik kemandirian sosial.
Solusi: Menanamkan Kemandirian Sejak Dini
Organisasi remaja perlu direvolusi secara kultural. Mulai dari cara pandang hingga cara kerja. Beberapa langkah kecil tapi penting bisa mulai diterapkan, seperti:
- Membangun unit usaha kecil organisasi, seperti bazar, jualan produk kreatif, atau jasa.
- Mengadakan kegiatan penggalangan dana berbasis karya, bukan sekadar proposal.
- Mengembangkan iuran rutin anggota yang dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
- Menggandeng mitra lokal dalam skema kerjasama, bukan donasi.
Lebih dari itu, organisasi harus menjadi tempat latihan mentalitas mandiri: bahwa setiap tantangan harus dijawab dengan usaha, bukan harapan pada kebaikan hati orang lain semata.
Penutup
Organisasi remaja punya potensi besar untuk mencetak generasi pemimpin. Tapi potensi itu hanya akan tumbuh jika ruang belajarnya sehat dan menantang. Sudah waktunya kita tinggalkan budaya proposal tanpa inovasi, dan beralih ke budaya kemandirian yang membentuk karakter.
Minta bantuan itu sah-sah saja. Tapi jika setiap tahun kita hanya tahu “minta”, mungkin sudah saatnya kita bertanya: apa yang sebenarnya sedang kita pelajari dalam berorganisasi?
By: Andik Irawan