Takut pada Tuhan: Misteri Antara Ilmu, Gelar, dan Hati yang Tak Tersentuh
Di tengah masyarakat kita, tak sedikit orang yang tampaknya sudah sangat dekat dengan agama: lulusan pesantren, bergelar sarjana syariah, bahkan sudah pernah menunaikan ibadah haji. Namun anehnya, mereka masih terlibat dalam praktik yang jelas-jelas dilarang oleh Islam, seperti suap, riba, dan bentuk kezaliman lainnya. Lalu kita bertanya-tanya: Kemana rasa takut mereka kepada Allah?
Inilah misteri terbesar dalam beragama: rasa takut kepada Tuhan (khauf) bukan sekadar produk ilmu atau gelar, tapi buah dari keimanan yang benar-benar hidup dalam hati.
1. Ilmu Tak Selalu Melahirkan Takwa
Dalam Islam, ilmu seharusnya mengantarkan seseorang kepada takut pada Allah. Tapi kenyataannya, ilmu bisa berhenti di kepala, tidak turun ke hati. Maka lahirlah fenomena “orang berilmu tapi tak bertakwa”. Ini bukan karena ilmunya salah, tapi karena hatinya tertutup oleh kepentingan dunia, gengsi, atau kebiasaan buruk yang sudah dianggap wajar.
2. Gelar Haji Bukan Jaminan Takwa
Berhaji adalah ibadah agung. Tapi haji tidak mengubah apa pun kalau tidak disertai kejujuran niat dan kesungguhan taubat. Banyak orang yang berhaji demi status sosial, bukan untuk menghapus dosa. Maka tak heran, setelah pulang dari Mekkah, bukan makin lurus, tapi malah makin licik. Ini karena hajinya belum menyentuh jiwanya—hanya menyentuh itinerary perjalanannya.
3. Sistem Sosial yang Membiarkan Kemunafikan
Kadang yang membuat orang tetap nyaman berbuat dosa meski berilmu adalah karena lingkungannya membiarkan bahkan memaklumi. Suap dianggap hal biasa. Riba disebut “strategi ekonomi”. Maka lahirlah masyarakat yang berpura-pura religius di luar, tapi bobrok di dalam. Orang yang ingin lurus malah dianggap aneh, dan yang curang malah dianggap “cerdas”.
4. Rasa Takut yang Telah Mati
Takut kepada Tuhan adalah karunia terbesar dalam keimanan, dan itu tidak bisa dipalsukan. Hanya hati yang bersih dan terbuka yang bisa merasakannya. Saat hati sudah keras, suara nurani pun tak lagi terdengar. Maka riba tak terasa salah, suap dianggap biasa, dan ibadah hanya jadi rutinitas tanpa ruh.
5. Solusi: Bangunkan Kesadaran, Bukan Hanya Tambah Pengetahuan
Yang dibutuhkan masyarakat kita bukan sekadar ceramah atau penambahan ilmu, tapi proses menyentuh hati: lewat keteladanan, suasana spiritual yang mendalam, dan lingkungan yang menolak kemunafikan. Pendidikan iman harus dimulai dari rasa—bukan hanya wacana.
Penutup: Takut kepada Allah Adalah Misteri yang Harus Dicari
Takut kepada Allah tidak otomatis hadir karena gelar, haji, atau jabatan. Ia hadir ketika hati benar-benar sadar bahwa hidup ini akan dipertanggungjawabkan. Maka jangan heran jika ada yang bergelar “ustaz” tapi korupsi, ada yang berhaji tapi masih memakan riba—karena rasa takut itu belum tumbuh.
Mari kita terus jaga hati kita, karena di situlah tempat sebenarnya iman dan takut kepada Tuhan bersemayam.
By: Andik Irawan