Umat Islam Terbesar di Dunia, Tapi Mengapa Masih Lemah?
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, azan berkumandang, masjid berdiri megah, dan identitas keislaman dijunjung tinggi. Namun, di balik kebanggaan statistik itu, ada kenyataan yang menyedihkan: secara kualitas, umat Islam Indonesia masih sangat tertinggal.
Mayoritas umat Islam di negeri ini masih awam, miskin, mudah dibohongi, dan mudah diadu domba. Mereka belum berdaya secara ekonomi, lemah dalam literasi agama, dan terjebak dalam siklus kemiskinan yang diwariskan turun-temurun. Lalu kita bertanya: Fenomena apa sebenarnya yang sedang kita hadapi?
1. Kuantitas Tak Selalu Berarti Kualitas
Kebanggaan sebagai umat Islam terbesar di dunia seharusnya dibarengi dengan kemajuan dalam ilmu, ekonomi, dan kontribusi sosial. Tapi faktanya, angka tidak menjamin mutu. Umat Islam kita besar secara jumlah, namun rapuh secara daya pikir, ekonomi, dan kemandirian. Banyak yang hanya “Islam” secara identitas KTP, tapi kosong dalam pemahaman dan penerapan nilai.
2. Mentalitas “Banyak Anak Banyak Rezeki” yang Gagal Diperbaharui
Salah satu akar dari kemiskinan struktural adalah pandangan lama yang tidak realistis: bahwa semakin banyak anak, maka rezeki akan semakin lapang. Akhirnya banyak keluarga miskin yang punya 7–12 anak tanpa kesiapan ekonomi dan pendidikan. Padahal Islam sendiri mengajarkan tanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan anak, bukan sekadar jumlah.
Ironisnya, kemiskinan ini tidak dianggap masalah, tapi justru dibungkus dengan dalih religius: “Allah yang kasih rezeki.” Benar, tapi ikhtiar dan perencanaan juga bagian dari iman. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin itu tumbuh dalam keterbatasan, dan mewarisi pola pikir serta kondisi yang sama: minim pendidikan, minim peluang, dan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan.
3. Rendahnya Pendidikan, Tingginya Kerentanan
Mayoritas umat masih tidak memiliki akses pendidikan yang layak, baik agama maupun umum. Inilah yang membuat mereka:
- Mudah terpengaruh hoaks
- Gampang diadu domba secara politik dan mazhab
- Tak mampu memilah antara agama yang murni dan yang dipolitisasi
Fenomena ini makin diperparah dengan minimnya peran ulama yang progresif, serta banyaknya tokoh agama yang justru ikut memperkuat status quo demi pengaruh dan posisi sosial.
4. Warisan Kelemahan yang Terus Diulang
Masalahnya bukan sekadar satu generasi miskin, tapi kultur miskin yang terus diwariskan. Keluarga-keluarga ini tidak hanya mewariskan kemiskinan ekonomi, tapi juga kemiskinan nilai, wawasan, dan keterampilan hidup. Maka terjadilah lingkaran setan: orang tua tak mampu mendidik anak secara utuh, anak tumbuh dalam keterbatasan, dan saat dewasa mengulangi pola yang sama.
5. Fenomena Ini Disebut Apa?
Secara akademik, fenomena ini bisa dikategorikan sebagai “kemiskinan struktural berbasis kultural”—kemiskinan yang bukan hanya karena faktor ekonomi, tapi juga karena pola pikir dan budaya hidup yang terus direproduksi tanpa kritik.
Ini juga bagian dari dekadensi umat, yakni kemunduran umat Islam karena meninggalkan esensi Islam: ilmu, adab, dan etos kerja. Kuantitas dipuja, tapi kualitas ditinggalkan.
Penutup: Jalan Keluar dari Lingkaran Gelap
Umat Islam Indonesia harus berani melakukan revolusi cara berpikir, dimulai dari:
- Reformasi cara mendidik anak: bukan sekadar banyak, tapi berkualitas.
- Membangun ekonomi keluarga yang rasional dan produktif.
- Menumbuhkan kesadaran literasi agama dan sosial.
- Menghidupkan kembali Islam sebagai kekuatan kemajuan, bukan sekadar simbol identitas.
Islam bukan hanya soal jumlah. Ia adalah soal kualitas pribadi, ketajaman akal, dan kejernihan hati. Selama umat tidak berani keluar dari pola hidup lama yang tak relevan, maka umat Islam akan terus besar di atas kertas, tapi tak punya daya di lapangan.
By: Andik Irawan