Antara Partisipasi dan Eksploitasi: Fenomena Ibu-Ibu Komunitas di PAUD

Bagikan Keteman :


Di banyak sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kita dapat melihat pemandangan yang hampir sama: anak-anak yang masih kecil diantar langsung oleh ibu mereka. Ini adalah hal yang wajar, karena pada usia dini, anak-anak memang belum mandiri secara emosional maupun praktis. Namun dari kebiasaan antar-jemput ini, muncul sebuah fenomena sosial yang lebih besar: terbentuknya komunitas para ibu.

Komunitas ini bermula dari obrolan ringan di depan sekolah, saling menunggu, berbagi cerita, lalu secara perlahan tumbuh menjadi jaringan sosial yang solid. Fenomena ini sejatinya adalah proses sosial alami—ketika manusia yang berada dalam rutinitas yang sama membentuk koneksi emosional.

Namun yang menarik (dan perlu ditelaah lebih dalam) adalah bagaimana pihak lembaga PAUD memandang dan memanfaatkan keberadaan komunitas ibu-ibu ini. Dalam beberapa kasus, komunitas ini bukan hanya dilihat sebagai pendamping anak, tetapi juga dimobilisasi untuk mendukung program sekolah, bahkan sampai titik yang berpotensi menjadi bentuk eksploitasi sosial terselubung.

Contoh Kasus: Hari Kartini dan Kostum Kolektif

Salah satu contoh yang sering terjadi adalah saat peringatan Hari Kartini. Anak-anak diminta memakai baju adat, yang sebenarnya sudah cukup untuk menyemarakkan kegiatan. Namun, tak jarang para ibu pun “diajak” ikut berkostum, berlenggak-lenggok, bahkan tampil di depan anak-anak. Kegiatan ini terkadang terkesan lucu dan menyenangkan, tapi jika dicermati lebih dalam: apa sebenarnya urgensi melibatkan para ibu dalam aktivitas itu?

Apakah itu bagian dari kurikulum pembelajaran anak? Atau hanya untuk memoles citra lembaga melalui dokumentasi meriah? Apakah para ibu benar-benar dilibatkan secara sukarela, atau hanya “tidak enak” menolak karena merasa tekanan sosial?

Antara Partisipasi dan Pemanfaatan

Di satu sisi, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak adalah hal positif. Banyak pendekatan pendidikan modern yang mendorong kolaborasi antara keluarga dan sekolah. Namun di sisi lain, keterlibatan yang tidak seimbang dan tidak terencana bisa berubah menjadi pemanfaatan sepihak.

Bila orang tua harus menyediakan kostum mahal, ikut latihan, mengorbankan waktu dan tenaga—tanpa ada hubungan langsung dengan proses tumbuh kembang anak—maka itu sudah menyentuh wilayah eksploitasi partisipatif yang samar. Hal ini lebih berbahaya karena dibungkus dengan nuansa “kebersamaan” dan “kegiatan anak”, padahal sejatinya bisa jadi lebih menguntungkan lembaga daripada orang tua.

Peran Lembaga PAUD: Mengelola, Bukan Memanfaatkan

Lembaga PAUD semestinya bisa membedakan antara memberdayakan orang tua dan memanfaatkan mereka. Kegiatan yang melibatkan orang tua harus dirancang atas dasar:

  • Sukarela tanpa tekanan sosial
  • Relevansi langsung dengan pengalaman belajar anak
  • Kejelasan tujuan dan transparansi manfaat

Dengan begitu, partisipasi orang tua akan tetap sehat, menyenangkan, dan bermakna.

Kesimpulan:

Fenomena ibu-ibu komunitas di lingkungan PAUD adalah realitas sosial yang alamiah dan potensial. Tapi bila tidak dikelola dengan bijak, komunitas ini bisa berubah menjadi ladang eksploitasi terselubung yang menyamar dalam nama “kerjasama”. Oleh karena itu, perlu kesadaran bersama—baik dari guru, kepala sekolah, maupun orang tua sendiri—untuk membedakan mana partisipasi tulus dan mana tuntutan terselubung.

Di sinilah pentingnya sekolah tidak hanya mendidik anak, tetapi juga memanusiakan orang tua.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment