Dilema Seorang Muslim: Antara Sunnah Memperbanyak Keturunan dan Tanggung Jawab Menghidupi Anak

Bagikan Keteman :


Menjadi seorang muslim yang taat kadang tidak lepas dari kebingungan ketika dihadapkan pada dilema antara ajaran agama dan realitas kehidupan. Salah satu dilema yang kerap muncul adalah soal keturunan. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan yang banyak. Beliau bersabda:

“Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan membanggakan banyaknya umatku di hadapan umat lain pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini seringkali menjadi dasar semangat bagi sebagian muslim untuk memiliki anak banyak, sebagai bagian dari upaya mengikuti sunnah Nabi. Namun, bagaimana jika seorang muslim hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit? Bagaimana jika ia merasa belum sanggup memberikan kehidupan yang layak dan terhormat bagi anak-anaknya? Di sinilah dilema itu muncul.

Hakikat Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam

Islam memandang anak sebagai amanah besar yang tidak hanya harus dibesarkan secara fisik, tapi juga harus disiapkan secara mental, spiritual, dan sosial agar mampu menjalani hidup dengan baik. Anak-anak memiliki hak yang sangat luas dalam Islam, di antaranya:

  • Hak atas kasih sayang dan perhatian.
  • Hak atas pendidikan agama dan moral.
  • Hak atas nafkah lahir dan batin.
  • Hak untuk diantarkan kepada kehidupan yang terhormat, bukan sekadar dibesarkan hingga usia baligh atau disekolahkan hingga SMP/SMA lalu dilepas begitu saja.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, orang tua tidak hanya bertanggung jawab atas kelahiran anak, tetapi juga atas masa depannya. Maka sangat wajar jika ada orang tua yang berpikir, “Jangan sampai saya mewariskan kemiskinan dan ketidakmampuan pada anak-anak saya. Jangan sampai anak-anak saya hanya bertumpu pada keberuntungan hidup, tanpa bekal yang memadai.”

Memahami Sunnah dengan Kebijaksanaan

Perlu disadari bahwa anjuran untuk memperbanyak keturunan bukanlah perintah yang mutlak tanpa syarat. Islam adalah agama yang seimbang dan rasional. Ajaran Islam selalu memperhatikan konteks dan kemampuan individu. Firman Allah:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)

Maka, jika seseorang menahan diri untuk tidak memiliki anak terlalu banyak karena mempertimbangkan tanggung jawab besar yang akan dipikul, maka itu bukanlah bentuk penolakan terhadap sunnah. Justru itu bentuk kehati-hatian dalam menunaikan amanah.

Bukan Soal Kuantitas, Tapi Kualitas

Dalam konteks zaman modern, membesarkan anak tidak hanya soal memberi makan dan pakaian. Orang tua kini dihadapkan pada tantangan bagaimana menyiapkan anak agar kelak mampu bersaing, berakhlak, beriman, dan hidup terhormat. Itu semua butuh sumber daya: waktu, tenaga, ilmu, dan tentu saja ekonomi.

Oleh karena itu, tidak salah jika ada orang tua yang memutuskan untuk membatasi jumlah anak, demi memberikan perhatian dan pembinaan yang maksimal kepada anak-anak yang sudah ada. Islam tidak hanya menilai dari kuantitas keturunan, tapi juga dari kualitas pendidikan dan pengasuhan yang diberikan.

Penutup: Mencari Jalan Tengah

Dilema ini tidak harus berujung pada kegelisahan. Sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran yang sehat dan Islami. Seorang muslim yang berpikir matang tentang masa depan anak-anaknya, yang tidak ingin mewariskan kemiskinan dan ketiadaan arah hidup, adalah orang tua yang bertanggung jawab.

Yang terpenting adalah keikhlasan dalam menjalani peran sebagai orang tua, ketulusan dalam membesarkan anak-anak, dan kesungguhan dalam mendidik mereka dengan nilai-nilai Islam, meski dalam keterbatasan.

Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai dari banyaknya anak yang kita miliki, tapi dari seberapa besar amanah itu kita tunaikan dengan sebaik-baiknya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment