Ironi Pembangunan Masjid: Ketika yang Miskin Justru Menanggung Beban
Pembangunan masjid merupakan bagian dari manifestasi keimanan dan kepedulian sosial umat Islam. Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan pembinaan masyarakat. Oleh karena itu, pendiriannya idealnya menjadi tanggung jawab bersama, terutama oleh mereka yang memiliki kelebihan harta (aghniya’). Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi ironi: pembangunan masjid justru lebih banyak dibebankan kepada masyarakat kecil yang secara ekonomi belum mapan.
Hal ini bisa kita lihat dalam banyak kasus di perdesaan, di mana Takmir Masjid lebih sering meminta sumbangan kepada seluruh warga tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi mereka. Padahal, di lingkungan tersebut sebenarnya terdapat orang-orang kaya yang secara syar’i dan sosial seharusnya memiliki tanggung jawab lebih dalam membiayai pembangunan fasilitas ibadah umat. Sayangnya, pendekatan kepada kelompok ekonomi mampu ini sering kali tidak dilakukan secara maksimal, bahkan cenderung diabaikan.
Setiap program pembangunan fisik masjid, terutama saat bulan Ramadhan, selalu diiringi dengan permintaan sumbangan kepada masyarakat luas. Akibatnya, timbul kelelahan sosial (social fatigue) di tengah masyarakat, karena permintaan yang terus-menerus namun hasil yang tidak kunjung terlihat nyata. Masjid pun tak kunjung selesai dibangun, dan kepercayaan masyarakat mulai memudar.
Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam strategi pendanaan dan lemahnya manajemen sosial dari pihak Takmir. Padahal, dalam sejarah Islam, pendanaan fasilitas publik seperti masjid sering kali melibatkan para dermawan besar. Rasulullah SAW dan para sahabat mencontohkan hal ini, seperti Utsman bin Affan yang membeli sumur dan membiayai masjid, serta Abdurrahman bin Auf yang terkenal dengan kedermawanannya.
Pembangunan masjid seharusnya menjadi ajang kolaborasi, bukan beban. Diperlukan pendekatan yang lebih adil dan strategis, di antaranya:
- Pemetaan dan Pendekatan kepada Donatur Potensial: Takmir perlu aktif mendata dan membangun hubungan baik dengan para aghniya’, baik melalui pendekatan kekeluargaan, spiritual, maupun sosial.
- Transparansi Pengelolaan Dana: Masyarakat akan lebih percaya jika ada laporan keuangan terbuka dan akuntabel.
- Pendidikan Literasi Wakaf dan Infaq: Edukasi tentang pentingnya kontribusi sukarela dan pahala jariyah dari infaq serta wakaf sangat penting untuk membentuk kesadaran kolektif.
- Pemanfaatan Momentum dan Inovasi: Mengajak anak muda dan tokoh masyarakat untuk menggelar program penggalangan dana yang kreatif dan inspiratif.
Pembangunan masjid adalah amal jariyah yang nilainya sangat tinggi. Namun, bila tidak dikelola dengan bijak, niat mulia ini bisa berubah menjadi beban sosial yang menyakitkan. Sudah saatnya kita kembali menata niat, strategi, dan semangat kolektif dalam membangun rumah Allah, agar menjadi sumber keberkahan, bukan kelelahan.
By: Andik Irawan