Ketidakadilan Distributif dalam Penggajian Pegawai Pemerintah Desa: Sebuah Tinjauan terhadap Fenomena Kesetaraan yang Tidak Setara
Di lingkungan pemerintahan desa, sering kali terjadi fenomena di mana seluruh pegawai, baik yang telah mengabdi puluhan tahun maupun yang baru bekerja selama beberapa bulan, menerima jumlah honorarium dan tunjangan yang sama. Meskipun sekilas kebijakan ini tampak adil dan sederhana untuk diterapkan, namun dalam praktiknya menimbulkan rasa ketidakpuasan, terutama dari pegawai senior yang merasa kontribusinya tidak dihargai secara proporsional.
Fenomena ini merupakan contoh dari ketidakadilan distributif (distributive injustice), yakni ketidakadilan dalam cara hasil kerja (dalam hal ini: gaji, tunjangan, atau penghargaan) dibagikan di antara individu dalam sebuah organisasi. Dalam konteks ini, ketidakpuasan muncul karena distribusi honorarium tidak mempertimbangkan faktor-faktor seperti lama masa kerja, pengalaman, loyalitas, maupun kontribusi nyata terhadap kemajuan instansi desa.
Teori Ekuitas (Equity Theory) yang dikemukakan oleh John Stacey Adams memberikan kerangka analitis yang relevan untuk menjelaskan fenomena ini. Teori ini menyatakan bahwa individu menilai keadilan berdasarkan perbandingan antara input (usaha, pengalaman, pengabdian) dan output (gaji, tunjangan, penghargaan). Ketika pegawai senior melihat bahwa rasio input-output mereka lebih besar dibandingkan pegawai baru namun hasil yang diterima sama, maka akan timbul perasaan tidak puas, demotivasi, bahkan potensi konflik horizontal.
Fenomena ini juga berpotensi menciptakan konflik hubungan antarpegawai. Pegawai lama merasa kurang dihargai, sementara pegawai baru bisa merasa tidak nyaman berada di tengah lingkungan kerja yang memandang mereka sebagai “tidak layak” mendapat tunjangan setara. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memengaruhi kinerja organisasi, loyalitas pegawai, hingga munculnya budaya kerja yang negatif.
Solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah desa adalah dengan menerapkan skema honorarium yang berbasis kinerja dan pengalaman. Meskipun penganggaran di desa terbatas, penyesuaian sederhana seperti pemberian insentif tambahan bagi pegawai senior, atau program penghargaan berkala, dapat menjadi bentuk apresiasi yang meminimalisasi kecemburuan sosial.
Kesimpulan, prinsip kesetaraan dalam penggajian memang penting, namun harus dibedakan antara kesetaraan dan keadilan. Kesetaraan menyamaratakan semua orang, sedangkan keadilan mempertimbangkan kontribusi masing-masing individu. Dalam konteks pemerintahan desa, menerapkan keadilan distributif menjadi krusial demi menjaga keharmonisan dan profesionalitas kerja di lingkungan pemerintahan tingkat bawah yang merupakan ujung tombak pelayanan publik.
By: Andik Irawan