Setiap manusia dibekali oleh Tuhan dengan akal dan kesadaran sebagai alat utama untuk menjalani hidup dan membentuk masa depannya. Akal menjadi senjata utama dalam menghadapi tantangan hidup, membuka jalan-jalan logis menuju kesuksesan dan kesejahteraan. Namun, bagaimana jika semua usaha yang dilandasi akal tersebut telah dikerahkan, dan hasilnya tetap nihil? Bagaimana jika keadaan tak kunjung berubah—tetap lemah, miskin, dan tak berdaya?
Dalam kondisi semacam ini, banyak orang akhirnya beralih ke jalur lain: jalan keyakinan, atau lebih tepatnya jalan non-nalar. Mereka mencari harapan di luar batas logika. Ada yang menempuh jalur agama, memperdalam ibadah dan spiritualitas. Tapi ada pula yang tergelincir ke dalam bentuk-bentuk kepercayaan yang tak lazim—menyembah benda-benda, memuja kekuatan gaib, memakai jimat, hingga memelihara makhluk-makhluk mistis seperti tuyul atau babi ngepet. Fenomena ini tak jarang kita temui di masyarakat, terutama mereka yang merasa seluruh jalan logis telah tertutup rapat.
Mencari Makna di Tengah Keputusasaan
Dari kacamata psikologi, kondisi ini menunjukkan bahwa manusia sangat membutuhkan makna hidup. Ketika segala jalan nalar buntu, keyakinan (meskipun tidak rasional) menjadi satu-satunya pegangan. Viktor Frankl, seorang psikolog yang pernah menjadi tahanan kamp Nazi, menulis bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan paling berat sekalipun, asalkan ia memiliki makna dalam hidupnya.
Keyakinan, dalam bentuk apa pun, menjadi ruang perlindungan batin agar seseorang tidak terjerumus ke dalam kehampaan dan depresi. Inilah sebabnya mengapa sebagian orang memilih “jalan alternatif”, meski secara teologis maupun sosial dianggap sesat atau menyimpang.
Masyarakat Tertekan, Kepercayaan Alternatif Tumbuh
Secara sosiologis, kita bisa memahami bahwa kepercayaan-kepercayaan semacam ini banyak tumbuh dalam masyarakat yang mengalami tekanan struktural: kemiskinan, pendidikan rendah, dan ketimpangan sosial yang parah. Di tengah ketidakpastian hidup, harapan menjadi barang langka. Maka, munculnya praktik-praktik mistis bukan hanya bentuk pelarian, tetapi juga strategi bertahan hidup.
Ketika semua peluang ekonomi, sosial, dan hukum terasa tidak berpihak, sebagian orang menciptakan jalan pintas—meski harus bersandar pada kekuatan-kekuatan yang tak terlihat dan tak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Tawakal yang Salah Arah
Dalam pandangan agama, khususnya Islam, manusia dianjurkan untuk bersungguh-sungguh berikhtiar, lalu bertawakal kepada Tuhan. Namun ketika pemahaman agama dangkal, atau ketika pengaruh lingkungan begitu kuat, sikap tawakal bisa menyimpang. Orang mulai berserah bukan kepada Tuhan, tapi kepada jimat, dukun, atau makhluk gaib yang justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
Tindakan ini adalah bentuk ambisi dunia yang melupakan keselamatan akhirat. Meski begitu, secara eksistensial, mereka masih “bergerak”. Mereka masih punya hasrat untuk bertahan, untuk hidup, meski jalannya menyimpang. Ini tentu lebih baik daripada mereka yang sudah kehilangan semuanya—akal, harapan, dan keyakinan sekaligus.
Mereka yang Benar-Benar Kosong
Yang paling menyedihkan adalah mereka yang sudah kehilangan dua hal sekaligus: nalar dan keyakinan. Mereka ini ibarat manusia yang terapung-apung di samudera, tanpa arah, tanpa tujuan, dan tanpa kekuatan untuk berjuang. Orang-orang seperti ini akan sangat sulit untuk bangkit jika tidak ada intervensi dari luar—baik dari sesama manusia maupun hidayah langsung dari Tuhan.
Penutup
Fenomena ini mengajarkan kita bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dengan logika, dan tidak pula cukup hanya dengan iman yang dangkal. Kita butuh keduanya. Ketika akal gagal, keyakinan menjadi tumpuan terakhir. Dan jika keyakinan itu benar dan kokoh, maka di situlah harapan baru bisa tumbuh. Namun jika keyakinan pun kosong, maka gelaplah seluruh hidup seseorang.
Menumbuhkan pemahaman spiritual yang sehat, memberi akses pendidikan yang adil, dan menciptakan lingkungan sosial yang manusiawi adalah jalan panjang yang perlu ditempuh bersama agar manusia tak perlu lagi lari ke jalan buntu, hanya karena merasa tak punya harapan.
By: Andik Irawan