Berikut artikel berdasarkan cerita
Pendahuluan
Konflik dalam keluarga adalah hal yang sering terjadi, terutama ketika menyangkut masalah harta warisan atau hibah dari orang tua. Namun, konflik internal ini bisa berkembang menjadi persoalan sosial yang lebih luas apabila tidak disikapi secara bijaksana. Salah satu contohnya adalah konflik wakaf keluarga yang tidak selesai dan justru menciptakan polemik berkepanjangan di tengah masyarakat.
Kronologi Kasus
Dalam sebuah keluarga, terjadi ketidakharmonisan di antara lima orang bersaudara mengenai harta hibah dari orang tuanya. Dalam prosesnya, harta tersebut kemudian diputuskan untuk diwakafkan kepada masjid oleh orang tua mereka. Keputusan ini ternyata tidak disetujui oleh anak tertua, yang kemudian mengajukan pembatalan wakaf kepada pemerintah desa. Namun, permohonannya ditolak.
Seiring waktu, sang pewakaf wafat sementara urusan wakaf belum selesai secara hukum. Hingga kini, sudah berlalu lebih dari 14 tahun, namun konflik belum juga menemukan titik terang. Banyak warga yang mulai mendesak agar tanah wakaf dikembalikan kepada ahli waris, namun pihak takmir masjid tetap bersikukuh mempertahankan status wakaf, mengklaim adanya amanah pribadi dari almarhumah.
Sayangnya, tidak ada bukti legal formal seperti Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang menguatkan status wakaf tersebut. Di sisi lain, pihak takmir masjid menyewakan tanah wakaf tersebut dan memanfaatkan hasil sewa untuk kas masjid, padahal status tanah tersebut masih dalam sengketa.
Analisis Permasalahan
Kasus ini memperlihatkan beberapa poin penting:
- Tidak Adanya Kesepakatan Antar Ahli Waris: Wakaf yang dilakukan oleh orang tua tidak diterima secara bulat oleh anak-anaknya, khususnya anak tertua. Ini menyebabkan perdebatan mengenai keabsahan dan kesucian niat wakaf.
- Ketiadaan Bukti Hukum yang Kuat: Hingga kini tidak ditemukan dokumen sah berupa AIW yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Ini membuat wakaf secara hukum negara belum sah sepenuhnya.
- Ketidaktegasan Pemerintah Desa dan KUA: Lembaga yang seharusnya menjadi jembatan penyelesaian justru kurang berperan aktif, karena tidak ada kerja sama yang baik dari semua pihak yang bersengketa.
- Masuknya Tokoh Masyarakat dalam Pusaran Konflik: Salah satu tokoh takmir mengklaim memiliki amanah pribadi dari almarhumah, yang membuatnya tidak bersikap netral. Ini memperkeruh keadaan dan menjadikan konflik bersifat personal.
- Penyewaan Tanah Wakaf yang Masih Sengketa: Ini menjadi persoalan serius. Penggunaan harta yang masih dalam status sengketa untuk kepentingan umum (kas masjid) bisa menjadi celah hukum yang memicu gugatan dan memperkeruh konflik sosial.
Solusi dan Pendekatan Penyelesaian
- Pendekatan Hukum:
- Pemeriksaan ulang status wakaf: Apakah sudah memenuhi unsur hukum (akad, AIW, persetujuan ahli waris)?
- Jika belum, maka harta tersebut belum sah sebagai wakaf dan bisa dibatalkan atau dikaji ulang melalui pengadilan agama.
- Pendekatan Mediasi Sosial:
- Perlu dibentuk forum musyawarah yang netral dan difasilitasi oleh tokoh luar yang tidak terlibat konflik.
- Proses dialog harus menjunjung tinggi asas keadilan, kekeluargaan, dan kemaslahatan umat.
- Pendekatan Agama:
- Wakaf dalam Islam harus bersih dari unsur paksaan dan sengketa.
- Menjaga ukhuwah dan menghindari kerusakan sosial lebih diutamakan daripada mempertahankan wakaf yang belum jelas keabsahannya.
Penutup
Kasus konflik wakaf keluarga ini menunjukkan betapa pentingnya kejelasan hukum dan komunikasi yang sehat dalam pengelolaan harta keluarga. Wakaf yang seharusnya menjadi amal jariyah dan sumber berkah, justru bisa berubah menjadi sumber fitnah dan konflik jika tidak dilakukan secara tertib, sah, dan disepakati semua pihak. Peran aktif pemerintah, tokoh agama, serta lembaga sosial sangat dibutuhkan untuk menciptakan solusi yang adil dan maslahat bagi semua pihak.
By: Andik Irawan