Pada bulan suci Ramadhan, banyak kita temui fenomena di berbagai kampung di mana musholla-musholla lokal mengadakan acara buka puasa bersama yang mengundang masyarakat dari seluruh kawasan desa. Sepintas, kegiatan ini tampak baik dan mempererat silaturahmi. Namun jika ditelaah lebih dalam, terdapat kekeliruan berpikir yang perlu dikritisi secara logis dan sosiologis.
Musholla pada dasarnya adalah rumah ibadah yang bersifat lokal dan komunal. Ia dibangun untuk melayani kebutuhan ibadah harian warga dalam satu lingkungan kecil seperti RT atau beberapa rumah sekitar. Fungsi utama musholla bukanlah sebagai pusat kegiatan keagamaan berskala besar, melainkan sebagai tempat ibadah harian, pendidikan dasar agama, dan pembinaan komunitas kecil.
Kesalahan berpikir terjadi ketika musholla dianggap memiliki fungsi seperti masjid jami’ atau masjid desa, yaitu tempat yang melayani seluruh warga desa dalam skala luas. Hal ini mengakibatkan musholla diperbesar, diperlebar, dan diisi dengan kegiatan-kegiatan besar seperti buka puasa bersama yang mengundang warga satu desa. Padahal, dari sisi fungsi dan kapasitas, musholla tidak dirancang untuk itu.
Ironi muncul ketika semangat kebersamaan berubah menjadi semacam kompetisi antar kampung. Setiap musholla ingin menunjukkan eksistensinya dengan mengadakan acara semegah mungkin. Akibatnya, muncul beban sosial dan potensi konflik tersembunyi karena persaingan yang tidak sehat. Yang semestinya menjadi wadah kebersamaan justru menjadi titik perpecahan halus antar wilayah kecil dalam desa.
Pemahaman yang lebih logis dan tepat adalah dengan menata ulang peran rumah ibadah sesuai dengan skala dan fungsinya. Musholla sebaiknya tetap menjadi pusat ibadah lokal yang melayani kebutuhan komunitas kecil. Untuk acara besar berskala desa, masjid jami’ atau masjid desa-lah yang seharusnya menjadi pelaksana utama. Dengan demikian, tidak terjadi tumpang tindih peran dan fungsi antar lembaga ibadah.
Selain itu, perlu adanya pendidikan sosial keagamaan yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya memahami fungsi rumah ibadah secara struktural dan sosial. Rumah ibadah bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga ruang sosial yang memiliki batasan dan skala pelayanan yang logis.
Akhirnya, kita perlu kembali pada esensi: rumah ibadah adalah tempat menyatukan hati, bukan ajang menunjukkan eksistensi. Dengan memahami skala, fungsi, dan peran sosialnya secara tepat, maka harmoni dalam kehidupan beragama di tingkat desa dapat terwujud secara lebih sehat dan konstruktif.
By: Andik Irawan