Ironi Pemuda Tanpa Gagasan: Sebuah Refleksi Kepemudaan di Tingkat Desa

Bagikan Keteman :


Seorang pemuda sejatinya adalah pribadi yang giat, bersemangat, dan kritis dalam berpikir. Ia mampu membaca realitas sosial di sekitarnya, peka terhadap dinamika di lingkungannya, khususnya di desa tempat ia tinggal. Pemuda seperti ini akan selalu bertanya: Apa yang bisa saya lakukan untuk desa saya? Apa ide yang bisa saya gagas demi kepentingan bersama? Kegiatan sosial apa yang bisa saya inisiasi bersama teman-teman?

Pemuda yang aktif berorganisasi dan peduli pada desanya seharusnya menjadi sumber energi positif bagi lingkungannya. Ia tidak hanya hadir dalam struktur organisasi, tetapi benar-benar hidup di dalamnya—menghidupkan gagasan, merancang kegiatan, dan menggerakkan anggotanya untuk berkarya dan berkontribusi.

Namun, sungguh ironis ketika realitas yang kita temui justru sebaliknya. Seorang pemuda yang dipercaya memimpin sebuah organisasi, justru tampil tanpa ide, tanpa semangat, bahkan tanpa minat terhadap organisasinya sendiri. Ia hadir secara struktural, tapi kosong secara substansial. Lebih menyedihkan lagi jika ia menjabat sebagai ketua atau pemimpin, namun tidak memiliki karakter dasar kepemimpinan: minim komunikasi, enggan berkonsultasi, tidak pernah bertanya, dan tak pernah menggagas sebuah kegiatan.

Hal ini adalah bencana kepemudaan—sebuah krisis yang muncul dari mandeknya kreativitas dan minimnya inisiatif di kalangan pemuda. Ketika organisasi dipimpin oleh seseorang yang tak memiliki visi, tak ada semangat kolektif yang bisa tumbuh. Organisasi menjadi pasif, kegiatan mati suri, dan kepercayaan anggota pun perlahan memudar.

Sayangnya, krisis ini bukan terjadi secara tiba-tiba. Ada akar yang lebih dalam yang harus dipahami:

  1. Lemahnya kesadaran jati diri pemuda
    Banyak pemuda yang belum memahami betapa besar peran mereka sebagai agen perubahan. Mereka kurang dibekali pembinaan karakter dan motivasi, serta tidak memiliki panutan yang dapat menginspirasi mereka untuk berkembang.
  2. Minimnya pembinaan dan pendampingan
    Tidak semua pemuda diberi ruang yang aman dan sehat untuk tumbuh. Ketika mereka berani menyampaikan ide tapi tidak dihargai, lama-lama mereka akan memilih diam dan menjauh.
  3. Komunikasi organisasi yang tertutup
    Komunikasi adalah kunci. Tanpa komunikasi yang terbuka antara pemimpin, anggota, dan pembina, maka tidak akan ada sinergi. Gagasan tidak akan pernah muncul jika ruang dialog tidak pernah dibuka.
  4. Kepemimpinan yang hanya simbolis
    Pemuda yang memimpin organisasi harus disiapkan terlebih dahulu. Kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan, tapi tentang tanggung jawab dan kemampuan untuk memotivasi orang lain.

Jalan Keluar: Dari Krisis Menuju Harapan

Permasalahan ini tidak bisa hanya dikritisi—perlu ada langkah konkret:

  • Perkuat pendidikan karakter pemuda sejak dini.
    Fokus tidak hanya pada aspek teknis organisasi, tapi juga pada pembangunan karakter dan mentalitas tangguh.
  • Ciptakan ruang diskusi dan dialog yang rutin.
    Forum-forum kecil, diskusi santai, atau bahkan ngobrol di warung kopi bisa jadi pintu awal bangkitnya ide-ide kreatif.
  • Libatkan pemuda dalam persoalan nyata di desa.
    Ajak mereka untuk terlibat langsung dalam menangani persoalan sosial, ekonomi, dan budaya di lingkungannya.
  • Regenerasi kepemimpinan yang sehat dan selektif.
    Pemimpin harus dipilih karena kapasitas dan semangatnya, bukan semata karena giliran atau kompromi.

Penutup

Kebangkitan organisasi kepemudaan hanya akan terjadi jika pemudanya bangkit terlebih dahulu. Jika hari ini kita menyaksikan organisasi yang stagnan, bisa jadi bukan karena kurangnya dana atau fasilitas, tapi karena pemudanya kehilangan semangat untuk menggagas. Dan jika itu terjadi, siapa yang harus memulai perubahan?

Mungkin, jawabannya: kita sendiri.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment