Kepemimpinan yang Terkunci Rasa Pekewuh: Antara Hormat dan Mandat
Menjadi pemimpin organisasi bukan sekadar soal jabatan atau kewenangan administratif, tapi juga keterampilan sosial dan kearifan budaya. Namun, bagaimana jika dinamika sosial dan budaya justru menjadi penghambat dalam menjalankan kepemimpinan? Inilah yang terjadi ketika seorang ketua harus memimpin orang-orang yang secara usia, pengalaman, atau status sosial lebih “tinggi” darinya—termasuk, misalnya, sekretaris yang adalah seorang sesepuh.
Fenomena ini menimbulkan dilema: pemimpin memiliki mandat, tapi terpenjara oleh rasa tidak enak—pekewuh.
1. Ketegangan antara Struktural dan Kultural
Dalam struktur organisasi, ketua adalah pengarah tertinggi. Tapi dalam budaya sosial, terutama di masyarakat yang menjunjung tinggi hierarki usia dan penghormatan terhadap sesepuh, memberi arahan kepada orang yang lebih tua bisa terasa tidak pantas.
- Memberi tugas bisa dianggap kurang sopan.
- Mengarahkan sesepuh bisa terasa “melawan arus” norma hormat.
- Akibatnya, pemimpin menjadi serba salah: memerintah canggung, dikerjakan sendiri juga tidak sesuai sistem.
2. Bahaya Rasa Pekewuh dalam Kepemimpinan
Jika dibiarkan, pekewuh bisa menjelma menjadi:
- Kepemimpinan yang stagnan: keputusan tidak tegas, eksekusi program lemah.
- Beban personal berlebihan: pemimpin akhirnya mengerjakan sendiri apa yang seharusnya didelegasikan.
- Kekacauan struktural: tanggung jawab menjadi tidak jelas, dan orang-orang tidak bekerja sesuai peran.
- Budaya tidak sehat: ketidaktegasan dianggap sebagai kelemahan, dan sistem organisasi kehilangan marwahnya.
3. Memahami dan Menyiasati Dilema Ini
Masalah ini tidak bisa diselesaikan secara frontal, tapi bisa diurai lewat pendekatan yang halus dan bijak:
a. Bangun Komunikasi Kultural yang Cerdas
Alih-alih “memerintah”, gunakan pendekatan “meminta bantuan” atau “meminta pandangan”. Contoh:
“Kira-kira menurut panjenengan, bagaimana sebaiknya surat ini dibuat?”
“Kalau boleh, saya ingin minta bantuan panjenengan untuk…”
Itu bukan bentuk kelemahan, melainkan seni kepemimpinan dalam budaya yang penuh nuansa.
b. Libatkan Sesepuh Sebagai Mitra Strategis, Bukan Operator Teknis
Pahami bahwa sesepuh lebih cocok untuk memberi nasihat, melegitimasi keputusan, dan menjaga harmoni organisasi. Jadi alih-alih memberi tugas-tugas administratif, mungkin perannya lebih tepat dalam:
- Dewan penasehat
- Wakil kehormatan
- Duta hubungan eksternal
c. Tegaskan Sistem Tanpa Menyakiti Hati
Dalam forum resmi, tegaskan pembagian tugas secara adil dan sesuai struktur. Tapi lakukan itu dengan bahasa yang halus, penuh respek. Kadang, pengakuan verbal seperti:
“Kami sangat terbantu dengan bimbingan panjenengan, dan kami mohon izin untuk menjalankan teknis ini sesuai sistem…”
bisa menjadi jembatan antara struktural dan kultural.
4. Penutup: Kepemimpinan dalam Budaya Tidak Hanya Butuh Otak, Tapi Juga Rasa
Pemimpin yang baik bukan hanya yang bisa menjalankan sistem, tapi juga mampu menjembatani dimensi-dimensi sosial yang kompleks. Dalam konteks masyarakat yang menjunjung nilai-nilai penghormatan, pemimpin harus mahir memainkan peran ganda: tegas dalam arah, lembut dalam pendekatan.
Karena dalam banyak kasus, keberhasilan pemimpin justru terletak pada kemampuannya mengelola rasa—bukan sekadar mengatur kerja.
By: Andik Irawan