Dalam dinamika berorganisasi, tentu kita berharap bisa menemukan rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan keterikatan hati antar sesama anggota. Namun, bagaimana jika yang kita rasakan justru sebaliknya? Ikut berbagai kegiatan dan rapat, tapi hati tetap merasa kosong. Bertemu sesama anggota, tapi tak ada getaran keakraban. Semuanya terasa formalitas belaka, dan lambat laun, semangat pun memudar.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan perasaan pribadi. Bisa jadi ini adalah tanda adanya krisis mendalam dalam tubuh organisasi itu sendiri. Lalu bagaimana kita memahami hal ini?
1. Kelemahan dalam Manajemen Relasi dan Budaya Organisasi
Salah satu penyebab utama adalah tidak adanya manajemen relasi yang kuat dalam organisasi. Banyak organisasi fokus pada program dan target, namun melupakan fondasi utamanya: manusia dan hubungan antar mereka. Akibatnya, organisasi terasa kaku, dingin, dan minim kepedulian emosional.
Budaya organisasi semestinya tidak hanya menekankan disiplin dan produktivitas, tapi juga kebersamaan dan kehangatan. Tanpa itu, organisasi hanya menjadi mesin kerja tanpa ruh.
2. AD/ART dan Program yang Tidak Menyentuh Penguatan Internal
Kadang, akar permasalahan ada pada struktur formal organisasi itu sendiri. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tidak memberi ruang cukup untuk penguatan internal. Tidak ada program yang bertujuan membangun hubungan antaranggota, seperti pelatihan karakter, team building, atau forum keakraban.
Organisasi pun menjadi tempat mengejar program, bukan tempat tumbuh bersama.
3. Kepemimpinan yang Kering secara Emosional
Kepemimpinan memainkan peran penting dalam menciptakan atmosfer organisasi. Pemimpin yang hanya hadir dalam bentuk instruksi dan rapat, tanpa menyapa atau menunjukkan empati, tidak akan mampu membangun kekompakan emosional antaranggota.
Padahal, pemimpin ideal bukan hanya yang menggerakkan program, tapi juga yang mampu menyentuh hati.
4. Ketidaksesuaian Nilai dan Visi
Ketika nilai-nilai organisasi tidak selaras dengan nilai-nilai personal anggotanya, maka akan muncul jurang emosional. Apalagi jika nilai-nilai tersebut tidak pernah disosialisasikan atau dihidupkan dalam keseharian organisasi. Rasa “tidak nyambung” ini bisa membuat anggota merasa terasing di tengah keramaian.
Refleksi dan Langkah Ke Depan
Lalu, bagaimana menyikapi situasi seperti ini?
- Mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang menghadirkan kehangatan dalam interaksi. Sapaan, perhatian kecil, dan empati bisa menular.
- Suarakan kegelisahan. Jika memungkinkan, sampaikan dengan cara yang konstruktif dalam forum organisasi. Bisa jadi banyak yang merasakan hal yang sama.
- Usulkan perubahan. Coba gagas program-program sederhana yang bisa membangun kedekatan antaranggota, seperti forum sharing, mentoring, atau kegiatan santai.
- Evaluasi peran. Jika segala upaya telah dilakukan namun tidak ada perubahan berarti, mungkin sudah saatnya mengevaluasi kembali posisi kita dalam organisasi tersebut.
Penutup
Organisasi bukan sekadar tempat berkegiatan. Ia adalah wadah tumbuh, belajar, dan berbagi. Jika kehilangan ruh itu, maka yang tersisa hanyalah rutinitas kosong. Menyadari hal ini adalah langkah awal untuk perubahan—baik dari dalam maupun lewat keberanian mencari tempat yang lebih sehat untuk jiwa dan pertumbuhan kita.
By: Andik Irawan