Dalam kehidupan sosial, kita sering menjumpai fenomena di mana segala sesuatu dijalankan sekadar untuk memenuhi syarat—tanpa makna, tanpa jiwa. Urusan keluarga, silaturahmi, kegiatan organisasi, hingga hubungan sosial lainnya, kerap kali terjebak dalam pola yang bernama: formalisme.
Kita hadir, tapi hati tidak ikut serta. Kita bertemu, tapi tidak benar-benar menyapa. Kita menjalankan tugas, tapi bukan karena panggilan nurani, melainkan kewajiban kosong. Inilah bentuk keterasingan batin yang lahir dari dominasi formalitas dalam kehidupan kita.
1. Apa Itu Formalisme?
Formalisme bukan sekadar “mengikuti aturan”. Ia adalah pola pikir dan tindakan yang lebih mengutamakan bentuk daripada makna, prosedur daripada nilai, simbol daripada esensi.
Contoh-contoh sederhana:
- Silaturahmi yang dilakukan karena “hari raya”, bukan karena rindu.
- Rapat organisasi yang berlangsung rutin, tapi tidak membawa perubahan.
- Acara keluarga yang dihadiri, tapi diwarnai kecanggungan dan kepura-puraan.
- Tugas-tugas sosial yang dijalankan karena “harus”, bukan “ingin”.
2. Mengapa Formalisme Berbahaya?
Formalisme adalah seperti virus yang halus tapi menghancurkan dari dalam. Ia merusak secara perlahan, tanpa disadari.
- Membunuh keikhlasan. Segala tindakan menjadi performatif, bukan ekspresi cinta atau tanggung jawab sejati.
- Menumpulkan empati. Orang hadir secara fisik, tapi tidak benar-benar peduli atau terhubung secara emosional.
- Menciptakan kekosongan sosial. Kita banyak berinteraksi, tapi sedikit yang benar-benar menyentuh hati.
- Menurunkan motivasi jangka panjang. Ketika orang terus-menerus terjebak formalitas, mereka akan merasa lelah, kosong, dan akhirnya apatis.
3. Mengapa Kita Mudah Terjebak dalam Formalisme?
- Tuntutan sosial: Kita takut dianggap tidak sopan, tidak aktif, atau tidak loyal.
- Budaya birokratis: Dalam banyak organisasi dan masyarakat, prosedur lebih dihargai daripada kejujuran dan kedalaman makna.
- Kebutuhan pengakuan: Banyak yang ingin tampak baik secara lahir, walau kosong secara batin.
- Kehilangan orientasi nilai: Ketika hakikat dari suatu aktivitas dilupakan, yang tersisa hanyalah bungkusnya.
4. Jalan Kembali: Menghidupkan Esensi
Untuk melawan hantu formalitas ini, kita perlu menyadari kembali hakikat dari setiap perbuatan. Beberapa langkah kecil tapi berdampak:
- Niatkan kembali setiap tindakan. Tanyakan: Mengapa aku melakukan ini? Jika hanya karena kewajiban kosong, coba koreksi niatnya.
- Hadir sepenuh hati. Saat bersama orang lain, sungguh-sungguh hadir. Tatap, dengar, dan rasakan.
- Kurangi basa-basi, perbanyak kedalaman. Tidak semua interaksi harus panjang, tapi usahakan setiap interaksi memiliki makna.
- Ajarkan makna di atas bentuk. Terutama dalam organisasi dan keluarga, tanamkan pentingnya nilai-nilai ketimbang sekadar prosedur.
Penutup
Formalisme bisa menjelma menjadi hantu sosial yang menipu: tampak rapi dan tertib dari luar, tapi kosong dan mati dari dalam. Jangan biarkan kita hidup hanya sebagai pelakon skenario sosial tanpa jiwa. Mari hidup dengan kesadaran, kehadiran, dan ketulusan.
By: Andik Irawan