Membumikan Dakwah: Dari Lisan ke Sentuhan Hati
Dakwah Islam dewasa ini, terutama di pedesaan, masih didominasi oleh metode ceramah, khutbah, dan pidato. Metode ini memang penting dan memiliki tempat tersendiri, namun jika hanya berhenti pada tataran informatif, ia menjadi sangat terbatas dalam menyentuh inti terdalam manusia: hati.
Hati manusia tidak cukup disentuh hanya dengan kata-kata. Ia membutuhkan kelembutan, kasih sayang, dan kepedulian nyata. Sayangnya, dakwah yang bersifat menyentuh melalui tindakan—seperti memberi santunan, membantu memperbaiki hunian, menyediakan beasiswa, membantu biaya pengobatan, memberikan pendampingan hukum, membentuk komunitas olahraga, dan sebagainya—masih sangat jarang dijumpai di tingkat desa. Kalaupun ada, seringkali hanya muncul secara temporer, misalnya saat bulan Ramadhan.
Fenomena ini mencerminkan ironi dalam realitas dakwah Islam. Masyarakat membutuhkan sentuhan nyata, namun yang hadir justru hanya ceramah rutin yang kadang tak lagi menggugah. Lalu, bagaimana kita memahami hal ini?
1. Reduksi Makna Dakwah
Banyak orang menganggap dakwah hanyalah aktivitas berbicara di depan umum. Padahal, Rasulullah SAW tidak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan tindakan penuh kasih sayang: membantu yang miskin, membela yang lemah, menyantuni yang membutuhkan, dan menyatukan umat yang terpecah.
2. Kurangnya Sumber Daya dan Kesadaran
Di banyak desa, dakwah terbatas oleh keterbatasan dana, sumber daya manusia, dan pemahaman menyeluruh tentang dakwah. Kegiatan sosial dianggap bukan bagian dari tugas dakwah, melainkan urusan pemerintah atau lembaga amal.
3. Budaya Formalitas
Kegiatan dakwah seringkali terjebak dalam rutinitas seremonial. Dakwah menjadi acara musiman, tidak berkelanjutan, dan tidak menyasar kebutuhan mendasar masyarakat.
4. Minimnya Inovasi Dakwah
Hanya sedikit pihak yang mencoba memperluas bentuk dakwah. Padahal, berbagai aktivitas seperti membentuk komunitas olahraga Islami, membuka klinik kesehatan gratis, atau mendampingi korban ketidakadilan adalah bentuk nyata dari dakwah yang penuh kasih sayang.
Menjadikan Dakwah Sebagai Pelukan Sosial
Sudah saatnya kita memikirkan kembali bentuk dakwah yang menyentuh hati: bukan sekadar berbicara, tetapi hadir, mendengar, merasakan, dan menolong. Dakwah tidak boleh hanya berada di mimbar, tapi juga di rumah-rumah yang rapuh, di sekolah-sekolah yang butuh dukungan, di lapangan tempat pemuda berkumpul, dan di ruang-ruang sosial lainnya.
Inilah saatnya membumikan dakwah. Mengubahnya dari suara yang terdengar menjadi sentuhan yang terasa.
By: Andik Irawan