Realita sosial yang sangat nyata dan krusial, khususnya dalam konteks pembangunan dan tata kelola desa. Fenomena sebahaimana diangkat dalam tema merupakan dilema klasik dalam sistem kepemimpinan di masyarakat yang SDM-nya terbatas.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat desa, idealnya setiap bidang urusan ditangani oleh orang yang kompeten, berintegritas, dan memiliki waktu serta dedikasi penuh. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari harapan. Banyak desa dihadapkan pada minimnya sumber daya manusia (SDM) yang dianggap layak atau mumpuni, sehingga berbagai jabatan penting dan strategis akhirnya hanya dipercayakan pada orang-orang yang sama, dari waktu ke waktu.
Masyarakat pun sering kali menyuarakan keheranannya dengan nada ironis:
“Pancet wae, seng dadi kok wong kuwi meneh, gak ono liyane ta?”
(Udah pasti, yang menjabat itu-itu lagi, emang gak ada yang lain?)
Fenomena Ini Menunjukkan Dua Hal Sekaligus
- Krisis regenerasi dan kaderisasi, di mana hampir tidak ada upaya serius untuk melahirkan figur-figur baru yang bisa mengambil peran strategis.
- Ketergantungan tinggi pada tokoh tertentu, karena dianggap satu-satunya yang “bisa” dan “berani” mengemban tugas.
Padahal, merangkap terlalu banyak jabatan dalam satu figur berisiko tinggi:
- Terjadi konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat.
- Beban kerja tidak tertangani maksimal, menyebabkan program tidak berjalan optimal.
- Minimnya ruang partisipasi publik karena semuanya sudah “dimonopoli.”
- Regenerasi menjadi mandek karena tidak diberi kesempatan berkembang.
Mengapa Ini Terjadi?
Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
- Keterbatasan SDM secara kuantitas maupun kualitas, baik karena pendidikan yang rendah, minim pengalaman, atau tidak ada pelatihan.
- Kurangnya budaya kaderisasi, di mana tidak ada program untuk melatih generasi muda atau menyiapkan pemimpin masa depan.
- Budaya feodal atau paternalistik, di mana masyarakat terlalu bergantung pada satu-dua tokoh, bahkan takut untuk tampil menggantikan.
- Rasa nyaman dari figur yang sudah menjabat, sehingga enggan memberikan kesempatan bagi orang lain.
Dampak Negatifnya? Nyata dan Serius
- Inovasi terhambat: karena ide-ide hanya berputar di orang yang sama.
- Pembangunan stagnan: sebab beban terlalu besar dipikul satu-dua orang saja.
- Partisipasi publik rendah: karena masyarakat merasa tidak diberi ruang.
- Potensi konflik sosial: muncul rasa iri, kekecewaan, atau apatis dari warga lainnya.
Solusinya? Harus Sistemik dan Bertahap
- Perlu inisiatif membangun kaderisasi desa secara terstruktur, mulai dari pelatihan kepemimpinan, manajemen, hingga literasi desa untuk pemuda-pemudi.
- Pemimpin desa saat ini harus mulai membuka ruang dan memberi kepercayaan kepada generasi baru, meski mereka masih belajar.
- Kampanye kesadaran masyarakat bahwa regenerasi adalah kunci kesinambungan pembangunan.
- Mendorong distribusi tanggung jawab, agar satu orang tidak memonopoli terlalu banyak jabatan.
Penutup: Saatnya Berani Memberi Kesempatan
Ketika jabatan publik hanya diisi oleh orang yang itu-itu saja, maka desa akan terus berjalan di tempat. Padahal di tengah masyarakat pasti ada potensi besar yang belum diberi ruang. Memberi kesempatan kepada yang muda, yang baru, dan yang berbeda bukan berarti kehilangan kualitas, tapi justru bentuk investasi sosial jangka panjang.
Karena keberlanjutan desa tidak bisa diserahkan kepada satu-dua orang saja. Ia harus menjadi tanggung jawab kolektif, dibagi secara adil, dan dikelola secara bergilir agar desa bisa tumbuh, maju, dan berkembang dalam keberagaman potensi warganya.
By: Andik Irawan