Kepala Desa dan Tanggung Jawabnya terhadap Lembaga-Lembaga Mandek di Desa: Refleksi kualitas Kepemimpinan

Bagikan Keteman :


Kepala Desa dan Tanggung Jawabnya terhadap Lembaga-Lembaga Mandek di Desa: Refleksi kualitas Kepemimpinan

Desa sebagai unit pemerintahan paling bawah memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur dan menggerakkan potensi sosial, ekonomi, serta spiritual masyarakatnya. Di dalamnya terdapat berbagai lembaga keumatan dan kemasyarakatan seperti yayasan, LPM, Takmir, hingga organisasi sosial keagamaan yang menjadi penggerak partisipasi warga. Namun dalam realitas di lapangan, tak jarang kita menemukan fenomena stagnasi lembaga—khususnya yayasan milik umat—yang selama bertahun-tahun tidak mengalami reformasi kepengurusan. Bahkan, ada yang tidak pernah berganti pengurus selama puluhan tahun.

Fenomena ini tidak hanya menjadi masalah internal lembaga tersebut, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan dari pihak yang secara struktural memiliki otoritas, yaitu pemerintah desa, dan secara spesifik, kepala desa.

Pemerintah Desa sebagai Lembaga Kontrol

Menurut regulasi yang berlaku, seperti Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa, pemerintah desa memiliki fungsi untuk membina dan memberdayakan berbagai lembaga kemasyarakatan yang berada di wilayahnya. Kepala desa, sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan di desa, memegang tanggung jawab langsung dalam memastikan bahwa lembaga-lembaga tersebut berjalan sesuai prinsip demokrasi, partisipatif, dan memiliki akuntabilitas.

Artinya, ketika sebuah lembaga atau yayasan mengalami stagnasi kepengurusan, tidak menjalankan fungsi sosialnya, atau dikuasai oleh satu kelompok secara turun-temurun tanpa evaluasi, maka kepala desa wajib turun tangan—minimal dalam bentuk teguran, fasilitasi musyawarah, atau mediasi pembaruan struktur organisasi.

Ketika Kepala Desa Tidak Bertindak

Jika kepala desa diam dan tidak menjalankan fungsinya terhadap lembaga-lembaga yang mandek tersebut, maka hal ini mengindikasikan beberapa kelemahan serius dalam kualitas kepemimpinannya:

  1. Kepemimpinan Lemah (Weak Leadership)
    Seorang pemimpin desa yang tidak mampu menegur atau membina lembaga yang bermasalah menunjukkan kegagalan dalam menjalankan fungsi kontrol dan pembinaan. Ia kehilangan wibawa di mata masyarakat.
  2. Kurangnya Visi dan Kepedulian terhadap Tata Kelola Sosial
    Tidak adanya upaya untuk mendorong regenerasi dan reformasi organisasi menunjukkan bahwa kepala desa tidak memiliki visi pembangunan sosial yang sehat.
  3. Membiarkan Budaya Mandek dan Otoriter Berlanjut
    Tanpa ada pembenahan, budaya organisasi yang feodal, tertutup, dan tidak partisipatif akan terus berlangsung. Ini membunuh semangat demokrasi lokal.
  4. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat
    Jika masyarakat merasa bahwa pemimpinnya tidak mampu mengoreksi ketimpangan organisasi di desanya sendiri, maka kepercayaan terhadap kepala desa akan memudar.

Urgensi Teguran dan Pembinaan

Perlu ditegaskan bahwa pembinaan bukanlah bentuk intervensi kasar, melainkan langkah pembenahan sistemik demi keberlangsungan lembaga-lembaga desa yang sehat dan bermanfaat bagi umat. Kepala desa memiliki otoritas untuk mengundang pengurus lembaga, memfasilitasi evaluasi terbuka, serta mendorong perubahan struktur demi perbaikan bersama.

Teguran kepada lembaga yang tidak aktif atau kepengurusannya mandek bukan sekadar hak, tapi merupakan kewajiban moral dan struktural dari seorang kepala desa. Tanpa tindakan ini, perubahan tidak akan pernah terjadi.


Kesimpulan

Reformasi lembaga-lembaga desa sangat bergantung pada kemauan dan ketegasan kepala desa dalam menjalankan perannya sebagai pembina. Jika kepala desa memilih diam dan membiarkan stagnasi berjalan terus-menerus, maka ia patut disebut sebagai pemimpin yang lemah, dan rapuh dalam kualitas kepemimpinannya. Karena sejatinya, perubahan itu dimulai dari keberanian untuk menegakkan yang benar, bukan membiarkan yang salah terus berlangsung.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment