Dunia usaha bukan sekadar tempat mencari penghidupan, tetapi juga menjadi ruang ujian yang sangat besar bagi keimanan. Di tengah tekanan persaingan, modal yang besar, dan harapan tinggi yang tak selalu tercapai, banyak pelaku usaha tergoda mencari solusi instan yang justru menjauhkan mereka dari nilai-nilai tauhid. Salah satu fenomena yang semakin marak adalah munculnya budaya mistik dalam dunia wirausaha warung kopi (warkop) dan usaha sejenis di berbagai kawasan.
Mistik dalam Ungkapan Sehari-hari
Ada ungkapan-ungkapan yang sering terdengar dari para pelaku warkop ketika melihat usaha rekannya sepi atau justru ramai pengunjung. Misalnya:
- “Warungmu kamu sekolahkan di mana? Kok jos ngene?”
- “Yuk, disekolahno sek warunge, ben ra sepi ngene.”
Sepintas terdengar seperti candaan. Tapi istilah “disekolahkan” dalam konteks ini memiliki arti yang sangat mengkhawatirkan: warung tersebut sudah “diisi”, “dimistiskan”, atau “ditanganin” oleh dukun atau paranormal agar ramai pembeli.
Ungkapan ini mengandung bahaya besar terhadap akidah, karena menggiring pola pikir bahwa kesuksesan usaha tidak lagi berasal dari usaha, doa, dan takdir Allah, tetapi dari bantuan kekuatan ghaib di luar syariat. Inilah awal dari normalisasi kemusyrikan dalam dunia usaha.
Kegagalan Usaha dan Krisis Keimanan
Ketika seorang pengusaha mengalami sepi pembeli, banyak yang tidak kuat mental dan akhirnya mengambil jalan pintas: mendatangi paranormal atau mengikuti ritual yang dianggap bisa melariskan dagangan. Ini terjadi karena beberapa sebab:
- Lemahnya pemahaman terhadap akidah tauhid.
- Desakan ekonomi dan rasa putus asa yang menyesatkan.
- Budaya lokal yang masih kental dengan praktik mistik.
Padahal dalam Islam, kebergantungan kepada selain Allah adalah bentuk nyata dari kemusyrikan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mendatangi dukun atau peramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad)
Perspektif Kritis: Antara Tantangan Ekonomi dan Tergelincirnya Akidah
Fenomena ini tidak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi. Ia harus dipandang sebagai gejala krisis spiritual dalam dunia usaha. Ketika seseorang menggantungkan kesuksesannya pada kekuatan gaib, itu bukan hanya persoalan strategi keliru, tetapi persoalan akidah yang rusak.
Bahaya lebih lanjutnya adalah ketika tradisi mistik ini menjadi budaya kolektif di kalangan pelaku usaha. Akhirnya, orang yang tidak melakukan ritual mistik malah dianggap ketinggalan zaman atau “tidak tahu cara mainnya”. Inilah bentuk tekanan sosial yang membungkus kemusyrikan dengan cara yang seolah sah.
Jalan Keluar: Kembali kepada Tauhid
Agar tidak terjebak dalam bahaya ini, perlu ada langkah nyata yang dilakukan oleh pelaku usaha dan masyarakat:
- Perkuat pemahaman tauhid, khususnya di kalangan wirausahawan kecil dan menengah.
- Bangun kesadaran bahwa rezeki murni dari Allah, bukan dari makhluk atau praktik ghaib.
- Perluas dakwah dan edukasi di komunitas usaha, agar pelaku usaha punya pegangan iman yang kuat dalam menghadapi tantangan.
- Kembangkan komunitas bisnis yang sehat dan islami, tempat di mana pelaku usaha bisa saling menguatkan secara spiritual dan strategis.
- Berdayakan usaha dengan ilmu dan strategi bisnis yang benar, bukan dengan keyakinan menyimpang.
Penutup
Dunia usaha memang penuh tantangan. Tapi jika tidak dihadapi dengan dasar akidah yang kuat, maka tekanan tersebut bisa menjatuhkan seseorang bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara spiritual. Tradisi mistik yang berkembang di kalangan pelaku usaha seperti warkop adalah bahaya laten bagi tauhid umat. Karenanya, sangat penting bagi kita semua untuk terus mengedukasi, mendakwahi, dan membimbing agar usaha tak hanya membawa rezeki, tetapi juga keberkahan dan keselamatan iman.
By: Andik Irawan