Di banyak desa, sesepuh agama atau tokoh agama memegang peranan yang sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan masyarakat sesuai dengan ajaran agama. Mereka tidak hanya dihormati, tetapi juga dianggap sebagai tauladan bagi umat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, bagaimana jika seorang sesepuh agama menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran yang dia sampaikan? Contoh sederhana adalah seseorang yang mengajarkan tentang kejujuran, namun justru terlibat dalam praktik suap, atau yang mengajarkan tentang kehidupan akhirat, namun lebih mementingkan duniawi. Ini adalah fenomena yang sangat serius dan dapat mengguncang pondasi moral dalam masyarakat.
Pentingnya Konsistensi dalam Perilaku Pemimpin Agama
Dalam ajaran Islam, seorang pemimpin agama atau tokoh agama memiliki peran sebagai teladan yang sangat penting. Apa yang dia ajarkan harus sesuai dengan apa yang dia praktekkan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. As-Saff: 2-3)
Ayat ini menunjukkan bahwa mengajarkan sesuatu yang tidak dipraktikkan adalah perilaku yang sangat tercela di mata Allah. Jika seorang sesepuh agama mengajarkan tentang kejujuran dan menghindari suap, tetapi dirinya sendiri melakukan hal yang sebaliknya, maka ini bukan hanya merusak citra dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi juga menggoyahkan kesucian ajaran agama itu sendiri. Pengikutnya bisa merasa bahwa ajaran yang dia sampaikan tidak perlu dijalankan, karena tokoh agama tersebut sendiri tidak mengamalkannya.
Konsekuensi Terhadap Kehormatan Tokoh Agama
Perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama oleh seorang sesepuh agama bisa menyebabkan kerusakan yang lebih besar, baik dalam konteks individu maupun sosial. Ketika masyarakat melihat bahwa pemimpin agama mereka tidak konsisten dalam praktik dan ajaran, mereka akan meragukan ajaran agama itu sendiri. Ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan umat terhadap ajaran agama yang seharusnya membawa kedamaian dan kebenaran.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Jika seorang alim melakukan kesalahan, maka ia akan lebih besar dosanya daripada orang biasa, karena pengaruhnya yang lebih besar.”
(HR. At-Tirmidzi)
Berdasarkan hadits ini, dapat dipahami bahwa kesalahan seorang tokoh agama memiliki dampak yang lebih luas, karena dia menjadi panutan bagi banyak orang. Jika sesepuh agama tersebut berbuat salah, maka kesalahan tersebut bisa diikuti oleh banyak orang, yang akhirnya memperburuk kondisi moral umat.
Kewajiban Mengingatkan dan Mengoreksi
Seperti yang diajarkan dalam Islam, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jika seorang sesepuh agama melanggar ajaran yang dia sampaikan, maka masyarakat atau pengikutnya memiliki hak untuk mengingatkan dan mengoreksi. Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat menyatakan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, maka perbaikilah hubungan antara saudara-saudaramu…”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Namun, mengingatkan seorang tokoh agama harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan penuh penghormatan. Mengkritik seorang sesepuh agama tanpa dasar yang tepat bisa menimbulkan fitnah dan memperburuk keadaan. Oleh karena itu, setiap langkah dalam mengoreksi harus dilakukan dengan santun, berdasarkan fakta yang jelas, dan dengan tujuan untuk memperbaiki, bukan untuk merendahkan.
Peluang untuk Pertobatan dan Perbaikan
Salah satu prinsip dalam Islam adalah bahwa pintu pertobatan selalu terbuka bagi siapa saja, termasuk pemimpin agama yang telah melakukan kesalahan. Jika seorang sesepuh agama menyadari kesalahan yang telah dilakukan, maka dia memiliki kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang segera bertobat.”
(HR. Tirmidzi)
Dengan demikian, meskipun seorang sesepuh agama berbuat salah, dia tetap memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar. Ini tidak hanya memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, tetapi juga dapat memperbaharui kepercayaan umat terhadap ajaran agama yang lebih murni.
Tindakan yang Bisa Diambil oleh Masyarakat
Jika seorang sesepuh agama terbukti melanggar ajaran agama yang dia sampaikan, masyarakat bisa melakukan beberapa hal untuk memperbaiki keadaan:
- Memberikan nasehat atau kritik konstruktif, baik secara langsung atau melalui saluran yang lebih formal, seperti musyawarah agama atau majelis taklim.
- Mengurangi pengaruhnya, tanpa merusak kehormatan pribadi, dengan memilih tokoh agama lain yang lebih konsisten dalam memimpin umat.
- Melakukan introspeksi kolektif sebagai komunitas, untuk mengevaluasi apakah kesalahan seorang pemimpin agama juga mencerminkan kelemahan dalam pengawasan umat terhadap perilaku pemimpin mereka.
Penutup: Menjaga Kehormatan Ajaran Agama
Perilaku seorang sesepuh agama yang bertentangan dengan ajaran agama yang dia sampaikan tentunya dapat mengguncang moralitas masyarakat. Sebagai umat, kita diajarkan untuk bermuhasabah (introspeksi diri) dan menegakkan kebenaran, bahkan jika itu harus dilakukan terhadap pemimpin agama sekalipun. Mengingatkan dan mengoreksi harus tetap dilakukan dengan hikmah dan kasih sayang, dengan tujuan untuk memperbaiki, bukan untuk menghancurkan. Selain itu, kita juga harus memberikan ruang bagi pertobatan, agar setiap manusia, termasuk sesepuh agama, memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar.
Dengan sikap yang bijaksana dan penuh kasih, kita dapat menjaga kehormatan ajaran agama dan tetap berusaha untuk menjadi umat yang baik di hadapan Allah SWT.
By: Andik Irawan