Dalam perjalanan sejarah wakaf di banyak desa, tak jarang kita menemukan kisah pilu tentang kekeliruan administrasi yang kini menimbulkan persoalan serius. Salah satu fenomena yang kerap terjadi adalah penggunaan nama kepala desa sebagai pewakif dalam pencatatan surat wakaf, meskipun tanah tersebut sejatinya diwakafkan oleh warga biasa.
Praktik ini mungkin dianggap praktis pada zamannya, namun di kemudian hari membawa dampak besar yang menyesatkan banyak pihak — hingga generasi ke generasi.
Awal Mula Kesalahan
Pada masa lalu, ketika prosedur administrasi belum seketat dan setertib sekarang, sering kali seorang warga yang ingin mewakafkan tanahnya, misalnya untuk pendirian masjid, menyerahkan proses administrasinya kepada pemerintah desa. Demi alasan kepraktisan atau efisiensi, nama kepala desa yang sedang menjabat digunakan dalam surat atau buku wakaf, bukan nama asli si pewakif.
Puluhan tahun berlalu, kini dalam catatan resmi desa, yang tercatat sebagai pewakif adalah kepala desa tersebut — bukan orang yang benar-benar berwakaf. Lebih ironis lagi, sebagian nadzir (pengelola wakaf) yang mengetahui sejarah sebenarnya justru menutupinya dan menyampaikan informasi keliru kepada masyarakat, dengan bersandar hanya pada dokumen administratif.
Akibatnya, generasi sekarang menerima dan mempercayai sebuah informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ini tentu bukan sekadar kekeliruan biasa, melainkan kekeliruan serius yang berdampak pada hakikat amanah wakaf itu sendiri.
Wakaf: Didasarkan pada Niat dan Ikrar, Bukan Semata Catatan
Dalam ajaran Islam, esensi wakaf terletak pada niat ikhlas dan ikrar pewakaf. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, keberlakuan wakaf tidak bergantung pada pencatatan administratif, tetapi pada:
- Kepemilikan sah harta tersebut oleh pewakif,
- Ikrar atau pernyataan wakaf,
- Penyerahan kepada nadzir,
- Penggunaan harta untuk kepentingan umum sesuai maksud wakaf.
Catatan resmi hanyalah alat bantu pembuktian, bukan sumber kebenaran tunggal.
Jika catatan administratif bertentangan dengan fakta niat dan perbuatan wakaf yang asli, maka hukum tetap mengakui pewakif yang sebenarnya.
Kesalahan Administratif: Haruskah Dibiarkan?
Kesalahan pencatatan seperti ini masuk kategori ghalath (kekeliruan administratif).
Dalam hukum syariah maupun hukum positif di Indonesia, kesalahan semacam ini bisa dan harus diperbaiki apabila ditemukan bukti-bukti yang kuat, seperti:
- Kesaksian masyarakat yang mengetahui sejarah wakaf,
- Surat atau dokumen tambahan,
- Fakta penggunaan tanah sesuai dengan tujuan pewakaf asli.
Membiarkan kesalahan ini terus berlangsung bukan hanya mempermalukan nilai amanah wakaf, tetapi juga melanggengkan dosa atas pemalsuan fakta.
Tanggung Jawab Nadzir: Meluruskan Kebenaran
Nadzir bukan sekadar pengelola aset wakaf. Mereka adalah penjaga amanah suci.
Ketika seorang nadzir mengetahui adanya kekeliruan sejarah tetapi memilih untuk menutupinya, ia telah melakukan pengkhianatan terhadap amanah umat dan mengkhianati niat luhur pewakif.
Seharusnya, seorang nadzir:
- Mengungkapkan kebenaran sejarah wakaf kepada masyarakat,
- Mendorong proses koreksi administrasi resmi,
- Mengedukasi generasi baru tentang makna amanah dalam wakaf.
Langkah-Langkah Meluruskan Kekeliruan
Fenomena ini harus segera ditangani dengan cara-cara berikut:
- Menggali kembali sejarah pewakafan melalui kesaksian para sesepuh desa, arsip lama, atau bukti fisik.
- Membuat berita acara klarifikasi yang ditandatangani oleh saksi dan tokoh masyarakat.
- Mengajukan permohonan revisi data wakaf kepada Kantor Urusan Agama (KUA) atau Badan Wakaf Indonesia (BWI).
- Mengadakan sosialisasi di masjid atau forum desa untuk meluruskan informasi kepada masyarakat.
- Membentuk nadzir baru yang kredibel, bila diperlukan, agar pengelolaan wakaf berjalan sesuai dengan syariat.
Penutup: Amanah Wakaf, Amanah Umat
Wakaf adalah sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir sepanjang zaman.
Melestarikan kebenaran tentang siapa yang berwakaf adalah bagian dari menghormati ibadah mereka, menjaga amanah umat, dan menegakkan nilai keadilan dalam masyarakat.
Kesalahan administrasi tidak boleh menjadi alasan untuk mengkhianati kebenaran.
Sebaliknya, kita wajib meluruskan, meskipun mungkin terasa berat, agar amal ibadah pewakif tetap utuh, dan generasi masa depan tidak lagi dibebani oleh warisan kesalahan yang menyesatkan.
Mencintai wakaf berarti mencintai kebenaran.
Dan mencintai kebenaran adalah bagian dari keimanan.
By: Andik Irawan