Konflik keluarga seringkali berujung pada masalah hukum yang pelik. Salah satunya adalah kasus wakaf tanah yang tak kunjung selesai, bahkan hingga bertahun-tahun lamanya. Berikut ini sebuah kasus nyata yang bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Awal Mula Sengketa
Seorang ibu memutuskan untuk mewakafkan sebidang tanah miliknya kepada seorang nadzir (pengelola wakaf). Keputusan itu muncul di tengah konflik internal keluarga, sehingga tidak semua ahli waris menyetujuinya. Salah satu anaknya secara tegas menolak niat ibunya tersebut.
Meski menghadapi penolakan, sang ibu tetap melanjutkan niat wakafnya. Sayangnya, sebelum proses wakaf itu benar-benar rampung secara hukum, sang ibu wafat. Tanah yang diniatkan untuk wakaf pun masih dalam sengketa: satu sisi mengakui sudah menjadi harta wakaf, sisi lain menganggap masih menjadi bagian dari warisan keluarga.
Pihak Nadzir dan Pemerintah Desa
Melihat sengketa yang berlarut, pihak nadzir menyerahkan penyelesaian masalah kepada pemerintah desa. Meski demikian, nadzir tetap mengelola tanah tersebut, bahkan mengambil hasil manfaat dari tanah itu selama bertahun-tahun. Sementara itu, pihak desa mencoba memediasi dan mencari jalan keluar, namun hingga kini — setelah 14 tahun berlalu dan lima kali pergantian kepala desa — masalah tersebut tak kunjung selesai.
Lebih pelik lagi, pihak ahli waris merasa bahwa masalah ini sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah desa. Mereka enggan lagi terlibat dalam proses penyelesaiannya.
Tinjauan Hukum Wakaf
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, wakaf memiliki kekuatan yang kokoh. Wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat sukarela dan mengikat, selama dilakukan oleh pemilik harta yang sah, dalam kondisi sadar dan tanpa paksaan.
Penolakan dari ahli waris tidak membatalkan wakaf, asalkan wakaf tersebut telah memenuhi syarat dan rukun, termasuk adanya ikrar wakaf dan penyerahan harta kepada nadzir.
Namun, jika proses wakaf itu belum selesai — misalnya, belum ada ikrar formal atau pencatatan resmi — maka status hukum tanah tersebut menjadi kabur: antara sudah menjadi wakaf atau masih termasuk harta warisan. Di sinilah akar masalah bersemayam.
Tanggung Jawab Nadzir dan Ahli Waris
Nadzir memiliki tanggung jawab suci: mengelola dan menjaga harta wakaf untuk kepentingan umat. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, nadzir berhak mengambil bagian kecil dari hasil wakaf untuk operasional, tetapi tidak boleh mengambil keuntungan pribadi secara berlebihan.
Sementara itu, ahli waris tetap memegang tanggung jawab moral dan hukum. Karena sengketa ini belum selesai, mereka tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri. Menyelesaikan status tanah tersebut adalah bagian dari kewajiban mereka sebagai penerus hak dan kewajiban pewaris.
Posisi Pemerintah Desa
Pemerintah desa pada dasarnya hanya memiliki fungsi administratif dan mediasi. Mereka tidak berwenang memutuskan sengketa wakaf atau warisan. Penyelesaian hukum harus dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk memastikan status tanah tersebut secara sah.
Pelimpahan tanggung jawab sepenuhnya kepada desa adalah kekeliruan. Pemerintah desa hanya bertugas memfasilitasi, bukan menyelesaikan secara hukum.
Solusi yang Harus Diambil
Untuk mengakhiri sengketa panjang ini, beberapa langkah konkret harus segera ditempuh:
- Mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk menetapkan status tanah: apakah sah sebagai wakaf atau tetap menjadi warisan.
- Melakukan audit penggunaan tanah oleh nadzir selama 14 tahun, untuk memastikan hasilnya tidak disalahgunakan.
- Membuat ulang ikrar wakaf jika memang terbukti sah, dan mendaftarkannya secara resmi ke Badan Wakaf Indonesia (BWI).
- Mengganti nadzir jika terbukti tidak amanah dalam mengelola tanah wakaf.
- Mengadakan mediasi formal antara ahli waris, nadzir, dan pemerintah desa, disertai pembuatan berita acara kesepakatan.
Penutup
Sengketa wakaf yang berlarut bukan hanya merugikan ahli waris atau nadzir, tetapi juga menghambat manfaat wakaf bagi masyarakat luas. Oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan, kejelasan prosedur hukum, dan ketulusan dari semua pihak agar nilai luhur wakaf benar-benar bisa terwujud.
Wakaf adalah amal jariyah yang seharusnya menjadi sumber kebaikan yang abadi — bukan sumber sengketa yang abadi.
By: Andik Irawan