Dilema Seorang Muslim: Memilih Antara Hukum Agama dan Hukum Negara Terkait Praktik Riba

Bagikan Keteman :


Sebagai seorang Muslim, setiap aspek kehidupan haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam agama Islam. Salah satu hal yang seringkali menimbulkan dilema adalah praktik riba, khususnya dalam kaitannya dengan aturan negara dan hukum agama. Islam dengan jelas melarang praktik riba, sementara di sisi lain, sistem keuangan negara seringkali berbasis pada bunga yang jelas merupakan bentuk riba. Lalu, bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap? Apakah ia harus mematuhi hukum agama atau cukup mengikuti aturan negara? Artikel ini akan mengupas dilema tersebut dan mencoba memberikan pemahaman yang lebih dalam.

Riba dalam Hukum Agama Islam

Dalam ajaran Islam, riba dianggap sebagai dosa besar. Allah dalam Al-Qur’an, melalui Surah Al-Baqarah (2:275-279), secara eksplisit mengharamkan praktik riba dan menyebutkan bahwa orang yang terlibat dalam riba akan mendapatkan hukuman yang sangat berat. Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan dalam berbagai hadis bahwa riba merugikan kedua belah pihak, baik yang memberi maupun yang menerima. Dengan kata lain, riba dianggap sebagai praktik yang tidak adil dan dapat menjerumuskan umat Islam ke dalam kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan ekonomi.

Karena itu, setiap Muslim diharapkan untuk menghindari segala bentuk transaksi riba, baik itu dalam bentuk pinjaman, investasi, maupun transaksi lainnya yang melibatkan bunga atau keuntungan yang tidak adil. Dalam hal ini, patuh pada hukum agama adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan usaha untuk memperoleh keberkahan dalam hidup.

Praktik Riba dalam Sistem Keuangan Negara

Di sisi lain, sebagian besar negara di dunia, termasuk negara-negara yang memiliki mayoritas Muslim, menjalankan sistem ekonomi yang berbasis pada bunga. Sistem perbankan konvensional, misalnya, sangat bergantung pada praktik riba, baik dalam bentuk bunga pinjaman, tabungan, maupun investasi. Negara tidak melarang praktik ini, dan bahkan di banyak negara, transaksi berbasis bunga dianggap sah dan legal secara hukum.

Keadaan ini menimbulkan dilema bagi seorang Muslim yang ingin taat kepada agamanya. Dalam beberapa situasi, seseorang mungkin merasa terpaksa untuk terlibat dalam transaksi yang berbasis bunga karena terbatasnya pilihan alternatif atau karena keharusan hidup dalam sistem ekonomi yang ada. Sementara itu, negara tidak memberikan larangan terhadap praktik ini, dan masyarakat diharapkan untuk mengikuti aturan yang berlaku di negara tersebut.

Dilema: Antara Ketaatan pada Hukum Agama dan Kepatuhan pada Hukum Negara

Dilema yang dihadapi oleh seorang Muslim dalam hal ini adalah antara ketaatan pada hukum agama Islam, yang jelas melarang riba, dan kepatuhan pada hukum negara, yang tidak melarang praktik tersebut. Berikut beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memahami dilema ini:

1. Prioritas Ketaatan pada Allah

Bagi seorang Muslim, ketaatan kepada Allah adalah hal yang paling utama. Menghindari riba bukan hanya soal hukum duniawi, tetapi juga soal ketaatan kepada Tuhan dan menjaga keberkahan hidup. Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang haram di dunia ini, termasuk riba, akan membawa dampak buruk di akhirat. Dengan kata lain, meskipun negara tidak melarang praktik riba, seorang Muslim seharusnya tetap berusaha untuk mematuhi hukum agama dan menjauhkan diri dari praktik tersebut.

2. Mencari Alternatif Keuangan Syariah

Sebagai solusi untuk menghadapi dilema ini, umat Islam dapat berusaha mencari alternatif yang sesuai dengan prinsip syariah. Banyak bank dan lembaga keuangan yang kini menyediakan produk keuangan syariah yang bebas dari riba, seperti tabungan syariah, kredit tanpa bunga, dan produk-produk investasi lainnya yang sesuai dengan hukum Islam. Meskipun pilihan ini mungkin lebih terbatas dan kadang-kadang tidak mudah diakses, namun mencari solusi keuangan yang bebas riba adalah upaya untuk tetap mematuhi hukum agama sambil tetap berfungsi dalam sistem ekonomi yang ada.

3. Keadaan Darurat dan Niat

Dalam beberapa kasus, seorang Muslim mungkin merasa terpaksa untuk bertransaksi dengan bunga karena kondisi tertentu yang tidak dapat dihindari, seperti kebutuhan mendesak yang memerlukan pembiayaan. Islam memberikan dispensasi dalam keadaan darurat, di mana sesuatu yang haram bisa menjadi dibolehkan jika tidak ada alternatif lain. Namun, dalam kondisi ini, niat sangat penting. Seorang Muslim harus menjaga niatnya untuk menghindari riba sebanyak mungkin dan berusaha mencari solusi yang lebih sesuai dengan ajaran agama ketika memungkinkan.

4. Mengubah Sistem dari Dalam

Jika memungkinkan, seorang Muslim juga dapat berperan dalam mempengaruhi sistem ekonomi negara untuk menyediakan lebih banyak pilihan berbasis syariah. Seiring berkembangnya kesadaran terhadap sistem ekonomi syariah, beberapa negara mulai memperkenalkan sistem perbankan syariah yang lebih inklusif. Dengan demikian, peran aktif dalam advokasi sistem keuangan yang bebas dari riba bisa menjadi langkah positif untuk mengurangi ketergantungan pada praktik riba dalam jangka panjang.

Kesimpulan

Dilema antara mengikuti hukum agama atau hukum negara terkait praktik riba memang menantang bagi seorang Muslim. Namun, prioritas utama seorang Muslim seharusnya tetap pada ketaatan kepada Allah dan menghindari riba karena dampak spiritual dan sosialnya yang merugikan. Meskipun negara tidak melarang riba, seorang Muslim tetap harus mencari alternatif keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah sebanyak mungkin.

Jika terpaksa menggunakan sistem yang berbasis riba karena keterbatasan pilihan, maka niat untuk menghindari riba tetap harus dijaga, dan di saat yang sama, upaya untuk memperkenalkan sistem yang lebih adil dan sesuai dengan hukum Islam harus terus dilakukan. Dalam hal ini, seorang Muslim tidak hanya berusaha untuk mematuhi hukum agama, tetapi juga berusaha memberikan kontribusi positif terhadap perubahan yang lebih baik dalam sistem ekonomi dunia.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment