Dalam kehidupan sebuah desa, kehadiran sesepuh agama adalah cahaya yang seharusnya menerangi jalan umat.
Mereka adalah rujukan akhlak, tempat bertanya tentang halal dan haram, pemandu menuju keberkahan hidup dunia dan akhirat.
Namun, ada fenomena yang perlu kita renungkan bersama:
Ketika praktek riba — utang berbunga, pinjam-meminjam dengan imbal hasil — merajalela di tengah masyarakat,
bahkan dilakukan oleh lembaga umum, lembaga sosial, bahkan lembaga agama,
sementara para sesepuh agama seakan-akan diam, membiarkan, atau tidak mengambil sikap.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah para sesepuh agama telah kehilangan peran dan fungsinya?
Bagaimana kita memahami situasi ini?
Sesepuh Agama: Pilar Utama Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam Islam, peranan tokoh agama sangat jelas:
- Menyeru kepada kebaikan.
- Melarang dari keburukan.
- Menjaga kemurnian syariat dalam kehidupan umat.
Allah berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” (QS. Ali Imran: 110)
Jika para sesepuh agama abai, maka hilanglah benteng terakhir yang seharusnya melindungi umat dari kehancuran moral dan sosial.
Mengapa Sesepuh Agama Bisa Diam?
Ada beberapa kemungkinan yang perlu kita pahami dengan jernih:
1. Ketidaktahuan tentang Hukum Riba
Sebagian sesepuh mungkin tidak mendalami fiqh muamalah (ilmu transaksi dan keuangan syariah).
Mereka lebih fokus pada ibadah ritual, tanpa menyadari bahwa dalam urusan harta, dosa riba termasuk dosa besar yang dinyatakan perang oleh Allah dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba, jika kamu benar-benar beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 278-279)
2. Takut Menghadapi Kekuasaan atau Tekanan Sosial
Kadang-kadang, sesepuh agama merasa takut untuk mengingatkan karena khawatir kehilangan posisi, pengaruh, atau menjadi tidak disukai.
3. Sibuk dengan Ritual, Lupa pada Tugas Sosial
Ada sesepuh yang merasa cukup hanya dengan mengajarkan shalat, puasa, dzikir, tanpa merasa bertanggung jawab atas praktik ekonomi dan sosial umat.
4. Sudah Terlibat atau Menikmati Sistem
Yang lebih berbahaya, bisa jadi sebagian sesepuh sudah terlibat dalam sistem yang mengandung riba, sehingga kehilangan keberanian moral untuk mengoreksi.
Apa Akibatnya?
Diamnya para sesepuh agama membuat:
- Praktik riba tumbuh subur tanpa hambatan.
- Umat terbiasa menganggap riba itu biasa, halal, bahkan dianjurkan.
- Keberkahan desa dan komunitas menghilang: banyak hutang, banyak sengketa, banyak kemiskinan spiritual.
Inilah awal kehancuran umat dari dalam.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika umatku takut berkata kebenaran kepada orang zalim, maka tinggallah mereka dalam kehinaan.” (HR. Ahmad)
Saatnya Bangkit: Mengembalikan Peran Sesepuh Agama
Fenomena ini bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk menjadi alarm bersama.
- Para sesepuh agama harus kembali bangkit, mengkaji ulang ilmu tentang halal-haram dalam muamalah.
- Masyarakat harus mendorong dan mendukung tokoh agama untuk berani bersuara, tanpa takut pada tekanan duniawi.
- Setiap individu harus belajar — jangan bergantung sepenuhnya kepada tokoh, tetapi juga membekali diri dengan ilmu syariah.
Penutup: Kita Semua Punya Tanggung Jawab
Jika sesepuh agama lalai, maka generasi muda harus mengingatkan dengan adab dan hormat.
Jika masyarakat abai, maka bangkitkan kesadaran kolektif untuk kembali ke jalan syariat.
Jika kita semua diam, maka bersiaplah menghadapi murka Allah yang nyata.
“Ketahuilah bahwa keberkahan tidak datang dari banyaknya harta, tetapi dari bagaimana kita mendapatkannya dengan cara yang diridhai Allah.”
(Pesan Ulama Salaf)
Mari kita jaga desa kita.
Mari kita jaga umat kita.
Mari kita jaga keberkahan bersama.
Katakan tidak pada riba, dan ajaklah semua kembali pada jalan yang diridhai Allah.
By: Andik Irawan