Fenomena maraknya praktik riba di berbagai kalangan, termasuk oleh lembaga atau organisasi agama yang seharusnya menjadi contoh dalam menjalankan ajaran Islam, menggugah kita untuk merenung lebih dalam. Riba, yang jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadis, seharusnya menjadi sesuatu yang tidak hanya dihindari oleh individu, tetapi juga dihindari oleh lembaga agama sebagai panutan umat. Namun, kenyataan bahwa praktik riba masih banyak dijumpai, bahkan oleh lembaga yang notabene mengerti hukum syariah, tentu menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ini tanda bahwa kita telah sampai pada zaman di mana konsep halal-haram sudah tidak lagi dipentingkan? Apakah cinta dunia sudah menguasai hati umat sehingga keadilan agama dikesampingkan demi keuntungan material?
1. Pentingnya Halal dan Haram dalam Islam
Dalam Islam, konsep halal dan haram bukan hanya bersifat normatif tetapi fundamental bagi setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan muamalah atau hubungan sosial dan ekonomi. Riba, yang secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat, adalah contoh nyata dari praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial yang dijunjung tinggi dalam Islam. Riba bukan hanya soal transaksi finansial, tetapi juga tentang keadilan, hak asasi manusia, dan keseimbangan antara pemberi dan penerima.
Jika lembaga atau organisasi agama, yang seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan hukum agama, terlibat dalam praktik riba, ini menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam pemahaman tentang hukum halal-haram. Ketika institusi agama yang memiliki otoritas moral dan spiritual justru mengabaikan aturan yang jelas dalam agama, maka bisa dipastikan bahwa nilai-nilai spiritualitas dan ketakwaan sudah mulai terpinggirkan.
2. Cinta Dunia Mengalahkan Ketaatan terhadap Allah
Salah satu alasan mengapa praktik riba dapat diterima oleh banyak pihak, termasuk lembaga agama, adalah cinta dunia yang menguasai hati manusia. Rasulullah SAW dalam banyak hadis mengingatkan kita tentang bahaya kecintaan terhadap dunia yang berlebihan, yang dapat mengaburkan pandangan kita terhadap akhirat dan mengarahkan kita untuk mengabaikan hukum agama demi meraih keuntungan duniawi.
Dalam ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengingatkan umat manusia agar tidak terpedaya oleh kemilau dunia yang bersifat sementara:
“Kamu dilalaikan oleh perhiasan dunia, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (Al-Takathur: 1-2)
Ketika cinta terhadap dunia mengalahkan ketaatan kepada Allah, maka kita akan lebih mudah untuk mengabaikan prinsip-prinsip agama, bahkan dalam urusan ekonomi. Pada titik ini, riba, meskipun jelas dilarang, dilihat sebagai cara untuk meraih keuntungan yang lebih cepat dan lebih besar, tanpa memperhatikan dampak spiritual dan sosial yang ditimbulkannya.
3. Ketidaktahuan atau Ketidakpedulian?
Banyak orang yang terlibat dalam praktik riba, termasuk lembaga agama, mungkin tidak sepenuhnya memahami dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktek tersebut. Bisa jadi ada ketidaktahuan mengenai hukum syariah atau keraguan dalam memahami konsekuensi hukumnya. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakpedulian terhadap hukum agama yang jelas. Ketika ekonomi menjadi titik fokus utama dalam kehidupan, ada kemungkinan bahwa ajaran agama yang seharusnya menuntun kita untuk hidup sesuai dengan hukum Allah dipinggirkan, hanya untuk mengejar keuntungan duniawi.
Penting untuk menyadari bahwa praktik riba tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak struktur sosial masyarakat. Riba menciptakan ketidakadilan dalam transaksi ekonomi, yang pada akhirnya merugikan mereka yang lebih lemah dalam masyarakat. Ketika lembaga agama terlibat dalam hal ini, maka dampaknya jauh lebih besar, karena mereka adalah otoritas moral yang seharusnya menjadi teladan.
4. Moralitas Kolektif yang Memudar
Praktik riba yang dilakukan oleh lembaga agama bisa dilihat sebagai bagian dari penurunan moralitas kolektif dalam masyarakat. Ketika lembaga yang seharusnya menjaga keteladanan moral dan spiritual justru mengabaikan prinsip dasar agama, ini menciptakan keraguan kolektif tentang nilai-nilai agama. Jika masyarakat melihat bahwa lembaga agama saja tidak mematuhi ajaran yang jelas dalam agama, maka mereka akan merasa bahwa praktik riba bisa diterima dan menjadi hal yang biasa.
Fenomena ini tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi umat, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap agama itu sendiri. Bagaimana mungkin umat bisa mencontoh ajaran agama jika para pemimpinnya saja tidak konsisten dalam menjalankannya?
5. Akibat Jangka Panjang bagi Masyarakat
Praktik riba yang diterima atau dibiarkan begitu saja oleh lembaga agama menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Riba tidak hanya menguntungkan pihak pemberi pinjaman, tetapi juga menempatkan peminjam pada posisi yang sangat rentan, sering kali terjerat dalam lingkaran utang yang tak berujung. Hal ini menciptakan ketidakadilan ekonomi, di mana yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk.
Selain itu, praktik riba dapat menyebabkan kerusakan sosial dan psikologis di dalam masyarakat. Utang yang terus menumpuk dan bunga yang terus berkembang bisa menimbulkan perasaan tertekan, kesedihan, bahkan keterpurukan bagi mereka yang terjebak dalam sistem ini. Jika lembaga agama tidak memberikan edukasi yang cukup mengenai bahaya riba, maka akan semakin banyak umat yang terperangkap dalam sistem yang merugikan ini.
6. Kembalinya kepada Ajaran Islam yang Murni
Meski kenyataannya kita menghadapi fenomena praktik riba yang meluas, terutama di kalangan lembaga agama, masih ada harapan untuk perubahan. Solusinya adalah dengan kembali menguatkan pendidikan agama yang mendalam tentang hukum ekonomi Islam. Lembaga agama harus menjadi pelopor perubahan dan kembali memperkenalkan konsep muamalah yang adil yang sesuai dengan syariah.
Penting untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya riba dan memberikan alternatif solusi syariah dalam kehidupan ekonomi, seperti bentuk transaksi yang adil dan menghindari bunga. Lembaga agama harus menunjukkan keberanian untuk mengatasi masalah ini secara terbuka dan mengambil tindakan nyata dalam memberantas praktik riba.
Kesimpulan
Fenomena maraknya praktik riba, bahkan oleh lembaga agama, adalah indikasi serius bahwa kita berada di zaman di mana cinta dunia dan materialisme sudah menguasai banyak hati umat. Halal dan haram sering kali dipandang sebelah mata demi keuntungan duniawi. Namun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Dengan pendidikan agama yang lebih kuat, keteladanan dari lembaga agama, dan komitmen untuk menegakkan hukum syariah, kita masih bisa mengubah kondisi ini.
Saatnya kita mengenal kembali ajaran Islam dalam aspek ekonomi, mengutamakan keadilan, dan meninggalkan praktik-praktik yang merugikan umat. Mari kita berusaha untuk menghindari riba dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah Allah SWT tetapkan, untuk kehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan diberkahi.
By: Andik Irawan