Kepemimpinan yang Bermutu Dimulai dari Diri yang “Beres”

Bagikan Keteman :


Dalam banyak diskursus tentang kepemimpinan, kita sering membahas soal visi, strategi, keterampilan komunikasi, atau kecakapan manajerial. Namun, ada satu aspek yang lebih mendasar dan menentukan: apakah seorang pemimpin sudah selesai dengan dirinya sendiri, atau belum.

Pemimpin yang Sudah “Beres” dengan Dirinya

Pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri adalah sosok yang tidak lagi haus akan pengakuan, sanjungan, atau pencitraan. Ia tidak menjadikan jabatan sebagai alat untuk membesarkan ego, melainkan sebagai amanah untuk mengabdi dan memberdayakan. Jiwa dan emosinya stabil, tidak mudah tersulut emosi, dan mampu menampung perbedaan serta kritik dengan lapang dada.

Ciri-ciri pemimpin seperti ini antara lain:

  • Menghargai dialog dan terbuka terhadap masukan.
  • Menjadi pendengar yang baik dan pengayom yang adil.
  • Memandang kekuasaan bukan sebagai alat kendali, tetapi sebagai instrumen pelayanan.
  • Memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang.

Pemimpin jenis ini biasanya melahirkan suasana kerja yang sehat, tim yang solid, dan masyarakat yang percaya terhadap proses dan hasil kepemimpinannya.

Pemimpin yang Belum “Beres” dengan Dirinya

Sebaliknya, pemimpin yang belum selesai dengan dirinya adalah mereka yang masih sangat membutuhkan pujian, validasi, dan dominasi. Dalam diam, mereka terus mencari pengakuan. Dalam tindakan, mereka sering menunjukkan ambisi yang tidak sehat. Mereka sensitif terhadap kritik dan cenderung membungkam perbedaan suara.

Dampaknya sangat nyata:

  • Organisasi terasa kaku dan penuh ketegangan.
  • Keputusan sering diwarnai motif personal, bukan pertimbangan rasional.
  • Masyarakat atau anggota tim menjadi korban dari kebijakan yang tidak inklusif dan tidak berdasar.

Satu tanda paling mencolok dari pemimpin seperti ini adalah kecenderungan merangkap banyak jabatan.

Fenomena Pemimpin Rangkapan: Cermin Ego yang Belum Usai

Di banyak tempat, kita melihat satu orang bisa menjadi ketua organisasi A, sekretaris lembaga B, bendahara di komunitas C, dan bahkan menjabat di posisi lain dalam waktu yang bersamaan. Ini bukan sekadar soal kepercayaan atau kapasitas, tetapi seringkali merupakan gejala ambisi yang berlebihan.

Pemimpin seperti ini cenderung:

  • Menjadi pusat segala keputusan tanpa pelimpahan wewenang.
  • Menghambat kaderisasi dan regenerasi.
  • Menjadikan organisasi bergantung pada satu orang.
  • Menciptakan kesan seolah-olah hanya dirinya yang mampu.

Ini adalah bentuk kepemimpinan yang tidak sehat. Kepemimpinan yang lahir dari ego yang belum matang justru berisiko melahirkan krisis dalam organisasi, stagnasi dalam perkembangan, dan kekecewaan dari banyak pihak.

Menuju Kepemimpinan yang Dewasa

Kepemimpinan yang bermutu hanya lahir dari pribadi yang dewasa secara emosional dan matang secara spiritual. Ia memimpin karena dorongan untuk memberi, bukan untuk diakui. Ia hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani.

Untuk itu, beberapa langkah penting perlu diambil:

  1. Membangun budaya regenerasi dan distribusi kepemimpinan.
  2. Menerapkan batas dan etika jabatan rangkap.
  3. Melatih calon pemimpin dengan pendekatan karakter dan integritas.
  4. Menguatkan nilai bahwa jabatan adalah amanah, bukan kebanggaan.

Penutup

Pemimpin sejati tidak sibuk mengejar banyak posisi, tapi justru sibuk menciptakan banyak pemimpin baru. Ia tidak sibuk memperluas kekuasaan, tapi sibuk memperdalam kualitas pelayanan.

Sebab pemimpin yang benar-benar besar bukan diukur dari berapa banyak jabatan yang ia genggam, tapi dari berapa banyak kehidupan yang ia ubah menjadi lebih baik.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment