Dalam perjalanan hidup, kita sering menemukan sosok yang memikat hati — seorang tokoh yang kita anggap mewakili harapan, perjuangan, atau bahkan nilai-nilai yang kita yakini. Hati pun merasa condong, kagum, dan loyal. Namun, bagaimana jika di tengah kekaguman itu, satu per satu fakta mulai terungkap?
Bagaimana jika tokoh yang kita puji dan dukung ternyata memiliki rekam jejak penuh kebohongan, inkonsistensi, dan kebijakan yang merugikan masyarakat luas serta negara? Apakah kita masih pantas untuk memujinya? Apakah “kata hati” masih bisa dijadikan pegangan?
Kata Hati vs. Fakta Nyata
Mengikuti kata hati pada dasarnya bukanlah hal yang salah. Ia sering menjadi sumber intuisi moral. Namun, kata hati hanya bisa menjadi petunjuk yang sehat jika hati itu jujur, bersih, dan tidak dibutakan oleh fanatisme.
Jika pujian kita lahir dari rasa suka semata — bukan dari penilaian terhadap rekam jejak yang nyata — maka pujian itu menjadi bentuk penyesatan, bukan penghargaan.
Hati yang baik bukan yang selalu membenarkan, tapi yang berani mengoreksi diri ketika melihat kebenaran.
Mengapa Sulit Berpaling?
Meninggalkan dukungan terhadap tokoh yang pernah kita kagumi sering terasa berat. Ini disebabkan oleh berbagai faktor psikologis:
- Cognitive dissonance (kegelisahan batin karena kenyataan tidak sesuai harapan): Kita cenderung menolak fakta yang mengguncang kepercayaan kita sebelumnya.
- Attachment identitas: Tokoh itu kadang telah menjadi bagian dari identitas kita — meninggalkannya seolah kehilangan bagian dari diri sendiri.
- Harga diri: Mengakui bahwa kita salah menilai bisa terasa memalukan, terutama jika sebelumnya kita membela mati-matian.
Namun, sesungguhnya, integritas pribadi justru teruji saat kita berani mengubah sikap ketika fakta berkata lain.
Apakah Masih Layak Memuji?
Jawabannya: tidak — jika pujian itu:
- Mengabaikan kebohongan dan kesalahan nyata.
- Memperkuat ketidakadilan.
- Menutupi kerusakan dan dampak negatif yang luas.
- Hanya demi menjaga perasaan atau gengsi pribadi.
Pujian yang layak hanya diberikan kepada mereka yang:
- Konsisten dalam integritas dan kebenaran.
- Memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas.
- Tidak menipu publik dengan kata-kata indah namun kosong.
Sikap yang Lebih Bijak
Daripada terus memuji demi mempertahankan perasaan, lebih bijak bila kita:
- Mengakui kekecewaan secara jujur.
- Menjaga sikap kritis terhadap figur publik, siapapun dia.
- Mengambil pelajaran untuk masa depan: jangan cepat memuja, dan jangan buta dalam mendukung.
Kesetiaan tanpa kritisisme adalah jalan menuju pembenaran buta. Sebaliknya, pengagum yang berani mengkritik adalah tanda kedewasaan dan ketulusan.
Penutup: Menjadi Pendukung yang Bermartabat
Tokoh publik bukan manusia sempurna. Kita bisa saja kagum, tetapi kekaguman itu harus dibarengi dengan akal sehat. Ketika fakta-fakta telah begitu jelas menunjukkan bahwa seorang tokoh tidak pantas lagi mendapat pujian, maka diam lebih mulia daripada terus memuji dalam kebohongan.
Memilih untuk menilai ulang bukan berarti mengkhianati, tapi justru menunjukkan bahwa kita lebih setia pada kebenaran, bukan pada orang.
By: Andik Irawan