Ketika Hati Terlalu Tertambat: Fanatisme yang Tak Terbantahkan

Bagikan Keteman :

Ada kalanya seseorang memuja seorang tokoh dengan sepenuh hati, bahkan sepenuh jiwa. Ia menempatkan tokoh itu di puncak kekaguman, menjadikannya panutan dalam berpikir, bersikap, dan menentukan arah hidup. Namun, bagaimana jika tokoh yang dipuja itu — seiring berjalannya waktu — ternyata menunjukkan keburukan yang nyata?

Kebohongan demi kebohongan terungkap. Inkonsistensi menjadi kebiasaan. Kebijakan yang diambil terbukti menyengsarakan rakyat, merusak tatanan, bahkan dikecam oleh dunia internasional. Namun, anehnya, hati yang sudah kadung memuja tetap tidak goyah.

Sekali memuja, selamanya akan tetap memuja.

Saat Kata Hati Menjadi Tirani

Dalam banyak kasus, kata hati adalah sumber intuisi moral. Namun, kata hati yang tidak dipandu oleh akal dan fakta bisa berubah menjadi tirani batin. Ia membelenggu, bukan membimbing. Ia menjadikan kita buta terhadap realitas, dan menolak segala hal yang bertentangan dengan keyakinan semu yang kita bangun.

Ini bukan lagi kekaguman sehat. Ini adalah penyanderaan diri oleh rasa suka yang berlebihan.

Penyakit Apakah Ini?

Secara psikologis dan moral, kondisi seperti ini mencerminkan beberapa bentuk “penyakit batin” atau gangguan pola pikir:

1. Fanatisme Buta

Loyalitas ekstrem yang menolak realita. Tokoh diposisikan sebagai figur yang tidak boleh salah, tidak bisa dikritik, dan selalu benar — bahkan saat kebenaran berkata sebaliknya.

2. Cognitive Dissonance (Kegamangan Berpikir)

Konflik batin antara keyakinan yang lama dengan fakta baru. Tapi, alih-alih mengoreksi diri, seseorang malah menolak fakta dan memilih tetap nyaman dengan kebohongan.

3. Ketergantungan Identitas

Tokoh pujaan menjadi bagian dari identitas diri. Melepaskan tokoh itu seolah-olah berarti kehilangan jati diri. Akibatnya, pemujaan terus berlanjut meskipun hati kecil tahu ada yang salah.

4. Penipuan Diri (Self-Deception)

Seseorang sadar ada yang tidak beres, namun memilih menipu dirinya sendiri agar tidak perlu merasa hancur atau malu karena telah memuja orang yang salah.

Jalan Keluar: Menyembuhkan Diri dari Pemujaan

Langkah pertama untuk sembuh adalah kejujuran pada diri sendiri — dan itu adalah langkah paling berat, tapi paling penting.

  1. Akui bahwa hati bisa salah. Kata hati tidak sakral jika ia membutakan nalar.
  2. Pisahkan antara cinta pribadi dan realitas publik. Tokoh yang kita kagumi mungkin punya sisi baik, tapi bukan berarti kita harus menutup mata terhadap sisi gelapnya.
  3. Jadilah pendukung yang merdeka, bukan yang tersandera.
  4. Setialah pada nilai dan kebenaran, bukan pada orang. Tokoh bisa jatuh, tapi nilai kebaikan tidak akan pernah mati.

Penutup: Memilih Waras dalam Dunia yang Bising

Dalam dunia yang penuh suara, propaganda, dan idolatri politik, menjadi waras adalah bentuk keberanian. Kita tidak harus menjadi pembenci, tapi juga tidak harus menjadi pemuja yang tuli terhadap fakta.

Kadang, mencabut kekaguman jauh lebih mulia daripada mempertahankan pujian yang salah. Karena manusia yang merdeka bukan yang selalu setia pada tokohnya, tapi yang setia pada kebenaran — meski menyakitkan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment