Di tengah badai kritik yang mengguncang seorang tokoh publik, ketika suara mayoritas menuding, mengecam, bahkan mengutuk sang tokoh karena kerusakan yang ditinggalkannya, tetap ada sekelompok orang yang berdiri teguh membela—bukan karena logika, tapi karena cinta. Cinta yang sudah terlalu dalam, terlalu menyatu dengan identitas diri mereka.
Mereka tak hanya membela tokoh itu. Mereka membela bagian dari diri sendiri yang telah diikat oleh pujaan. Mereka membentuk lingkaran solidaritas emosional. Sebuah “persaudaraan pemuja”, yang tak lagi didasarkan pada fakta, tapi pada luka bersama. Persatuan yang dibangun bukan karena kebenaran yang diyakini, melainkan karena kenyataan yang ditolak bersama.
Mengapa Mereka Tetap Bertahan?
1. Karena tokoh itu sudah menjadi bagian dari harga diri.
Meninggalkan tokoh berarti mengakui bahwa pilihan selama ini keliru. Bagi sebagian orang, itu bukan sekadar malu—itu runtuhnya identitas. Maka bertahan, meskipun pahit, terasa lebih mudah daripada berubah.
2. Karena mereka merasa diserang secara pribadi.
Kritik terhadap sang tokoh tak lagi dibaca sebagai kritik objektif. Ia diterima sebagai penghinaan terhadap diri mereka sendiri. Maka mereka pun membalas: bukan dengan data, tapi dengan perasaan dan kemarahan.
3. Karena dalam keterasingan, mereka menemukan persekutuan.
Saat dunia meninggalkan tokoh pujaan, mereka merasa tersingkir. Tapi keterasingan itu malah memunculkan ikatan baru: “Kita berbeda. Kita satu-satunya yang benar.” Inilah psikologi eksklusivitas—merasa istimewa karena menjadi minoritas yang setia, meskipun keliru.
4. Karena melepaskan berarti kehilangan makna hidup.
Bagi sebagian orang, membela tokoh bukan sekadar aktivitas sosial—ia sudah menjadi panggilan hidup. Maka melepaskan tokoh itu sama artinya dengan kehilangan arah. Dalam kekosongan itu, mereka lebih memilih bertahan dalam kebohongan, daripada hidup dalam kebenaran yang menyakitkan.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Ini adalah fenomena penyangkalan massal, di mana kebenaran diganti dengan narasi bersama, dan kenyataan digantikan dengan rasa nyaman emosional. Mereka membentuk ruang gema (echo chamber) yang hanya memantulkan suara mereka sendiri. Di sana:
- Fakta dianggap konspirasi.
- Kritik dianggap sebagai serangan politik.
- Kebenaran hanya sah jika datang dari tokoh yang dipuja.
Di balik itu semua, ada luka yang dalam. Mereka sebenarnya tahu: dunia sudah berubah, suara rakyat sudah berbalik, dan tokoh pujaan tak lagi layak dibela. Tapi rasa takut, gengsi, dan luka yang tak diakui membuat mereka tetap tinggal dalam ilusi.
Bagaimana Kita Memahami Mereka?
Mereka bukan musuh, tapi manusia yang sedang bingung.
Bukan karena bodoh, tapi karena terlalu mencintai. Terlalu lama meyakini sesuatu hingga sulit menerima bahwa semua itu bisa salah.
Namun, pemahaman bukan berarti pembenaran. Mereka perlu disadarkan—bukan dengan hinaan, tetapi dengan cermin dan keberanian untuk melihat kenyataan.
Terkadang, yang paling mereka butuhkan bukan argumen, tapi keberanian untuk menerima bahwa cinta pun bisa menyesatkan.
Penutup: Melepaskan Pemujaan, Menemukan Kebenaran
Pada akhirnya, setiap orang akan diuji: apakah akan setia pada tokoh, atau pada nilai? Apakah akan membela manusia, atau membela kebenaran? Karena satu hal yang pasti:
Kebenaran tidak butuh banyak pengikut.
Dan kebohongan tetap akan busuk, meski dibela sampai darah penghabisan.
Yang perlu dibela bukan tokoh, tapi akal sehat dan nurani. Jika hari ini masih tersisa keberanian dalam dada untuk melihat bahwa sang tokoh telah jatuh, maka sudah saatnya melepaskan, bukan karena benci—tetapi karena ingin sembuh.
By: Andik Irawan