Uzlah Bijak: Menjaga Jarak demi Menjunjung Syariat

Bagikan Keteman :


Di tengah kehidupan sosial yang penuh dinamika, seorang Muslim yang taat tak jarang dihadapkan pada dilema batin: antara menjalin hubungan sosial yang luas dengan sesama manusia—termasuk kawan dan kolega—dan menjaga hati agar tetap bersih dari pengaruh pelanggaran terhadap syariat Allah. Ketika melihat sebagian orang, bahkan sesama Muslim, dengan terang-terangan mengabaikan larangan Allah—seperti melakukan praktik riba, suap, kedustaan, atau bentuk kemaksiatan lain—hati yang masih hidup pasti merasa berat untuk bersama.

Dalam kondisi seperti ini, seorang Muslim yang menjaga komitmen imannya akan cenderung mengambil sikap: menjaga jarak secara bijak, tidak memutus hubungan secara mutlak, tetapi juga tidak merasa nyaman untuk terlalu dekat. Sikap ini sejatinya merupakan bentuk kepekaan iman yang sehat, bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk uzlah (pengasingan diri) yang bijak.

Uzlah: Antara Simbol dan Spiritualitas

Uzlah dalam Islam bukan sekadar menjauh secara fisik, melainkan juga bisa bermakna penarikan diri hati dari kemungkaran. Dalam kondisi di mana kebenaran dilecehkan dan syariat dianggap sepele, mengambil jarak menjadi simbol pemisah antara hak dan batil. Ini adalah bentuk nyata dari al-wala’ wal-bara’—loyalitas kepada kebenaran dan penolakan terhadap kebatilan.

Nabi SAW pernah menyebutkan:

“Akan datang suatu masa bagi manusia, di mana yang terbaik bagi seorang mukmin adalah tinggal di gunung, menggembalakan kambingnya, menjauh dari fitnah, menjaga agamanya.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini bukan menganjurkan lari dari kehidupan sosial secara mutlak, tapi menunjukkan bahwa mengambil jarak demi menjaga agama adalah sikap yang bisa dibenarkan dalam kondisi tertentu.

Menjaga Silaturahmi, Menolak Kemaksiatan

Sikap uzlah bijak ini bukanlah bentuk kesombongan atau permusuhan. Hubungan silaturahmi tetap dijaga sebatas yang dibolehkan syariat: tetap menyapa, membantu dalam hal kebaikan, dan tidak menutup pintu nasihat atau dakwah. Namun, kedekatan hati dan kebersamaan dalam pergaulan dibatasi, sebagai bentuk perlindungan jiwa dan penegasan bahwa syariat Allah tidak boleh dianggap remeh.

Hal ini serupa dengan firman Allah:

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.”
(QS. Al-An’am: 68)

Kebahagiaan Bergaul dengan Pecinta Syariat

Tak bisa dimungkiri, kebersamaan yang paling membahagiakan bagi seorang Muslim sejati adalah bersama mereka yang menjunjung tinggi syariat Allah. Hati akan merasa tenteram saat berada di tengah orang-orang yang menjaga lisannya, jujur dalam muamalah, dan menjadikan halal-haram sebagai pedoman utama hidup. Rasulullah bersabda:

“Perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk, seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka adalah fitrah iman jika hati kita lebih senang dan bahagia bersama orang-orang yang hidup dalam ketaatan.

Penutup: Menjadi Peka, Bukan Sombong

Mengambil jarak dari para pelanggar syariat bukanlah bentuk keangkuhan, melainkan usaha menjaga kejernihan hati dan kemuliaan prinsip. Namun sikap ini harus disertai dengan niat yang lurus: bukan merasa lebih baik, melainkan agar tidak ikut larut dalam keburukan dan tetap membuka pintu bagi mereka yang ingin kembali ke jalan Allah.

Jika kelak mereka berubah, meninggalkan maksiat, dan kembali menjunjung tinggi nilai-nilai Allah, maka hati ini pun akan terbuka kembali. Karena pada akhirnya, tujuan kita bukan menjauh dari manusia, tapi mendekat kepada Allah. Dan siapa pun yang mendekat kepada Allah, dia akan dekat pula di hati kita.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment