Antara Ilmu dan Uang: Dilema Anak Sekolah yang Nyambi Kerja

Bagikan Keteman :


Di era serba cepat ini, fenomena anak usia sekolah—terutama tingkat SMP dan SMA—yang memilih untuk bekerja sambil belajar semakin sering kita jumpai. Ada yang menjadi barista, pekerja toko, bahkan ikut berdagang online. Sekilas, hal ini tampak positif: anak menjadi mandiri, terlatih tanggung jawab, dan bisa memperoleh uang saku sendiri. Banyak pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, normal, bahkan patut diapresiasi.

Namun, mari kita tengok lebih dalam ketika fenomena ini terjadi pada anak-anak yang sejatinya telah tercukupi kebutuhannya oleh orang tuanya. Tidak ada tekanan ekonomi, tidak pula keterpaksaan. Lantas, mengapa mereka memilih bekerja di tengah kewajiban utama mereka sebagai pelajar?

Di sinilah letak kejanggalannya.

Belajar: Tugas Utama yang Terancam

Anak usia sekolah sejatinya berada dalam masa pembentukan. Bukan hanya belajar materi pelajaran, tetapi juga mengasah karakter, logika berpikir, dan mengenal nilai-nilai hidup yang akan menentukan masa depannya. Ketika mereka membagi fokus antara tugas sekolah dan pekerjaan, maka tak dapat dielakkan, salah satu akan terkorbankan.

Waktu, tenaga, dan pikiran mereka akan terkuras. Fokus terbagi. Dan lebih dari itu, muncul risiko serius: anak mulai tergoda oleh manisnya uang.

Manisnya Uang, Pahitnya Ilmu

Uang memberikan hasil yang instan dan nyata. Sementara pendidikan, memberi hasil jangka panjang dan tak selalu terlihat dalam waktu dekat. Di sinilah letak tantangannya. Jika seorang anak sudah mulai mencicipi penghasilan, meskipun kecil, ia bisa merasa bahwa bekerja lebih menyenangkan dan lebih berguna dibanding belajar.

Akhirnya, pelajaran menjadi membosankan. Sekolah hanya dijalani sebagai formalitas. Lama-kelamaan, semangat belajar bisa pudar, bahkan hilang sama sekali. Anak pun lebih memilih untuk terus bekerja dan melepas pendidikan yang sejatinya menjadi tiket utama menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Orang Tua Perlu Sadar Arah

Dalam kasus seperti ini, orang tua memegang peranan penting. Tugas orang tua bukan hanya mencukupi kebutuhan materi, tetapi juga membimbing arah tumbuh kembang anak. Jika kebutuhan ekonomi keluarga sudah cukup, maka mengizinkan anak untuk bekerja bukanlah hal yang bijak, apalagi jika tanpa pengawasan atau kontrol.

Bukan berarti anak tidak boleh berkegiatan produktif. Justru, anak bisa diarahkan untuk ikut kegiatan yang mendidik: magang edukatif, proyek sosial, usaha kecil bersama keluarga, atau kegiatan ekstrakurikuler yang melatih tanggung jawab tanpa mencuri waktu belajar.

Kesimpulan: Kembali ke Esensi Pendidikan

Bekerja itu baik. Mandiri itu mulia. Tapi setiap hal ada waktunya. Usia sekolah adalah waktu emas untuk belajar dan menyerap sebanyak mungkin ilmu. Jika waktu dan energi ini tersita oleh aktivitas kerja, apalagi hanya demi uang saku tambahan, maka anak berisiko kehilangan hal yang jauh lebih berharga: potensi dan masa depan.

Maka, penting bagi kita semua—orang tua, pendidik, dan masyarakat—untuk kembali menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama bagi generasi muda. Karena uang bisa dicari kapan saja. Tapi waktu belajar, jika sudah terlewat, tak akan pernah kembali.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment