Tak sedikit orang, terutama laki-laki, yang setelah berhasil secara ekonomi, justru perlahan melupakan ibu yang dulu menjadi pintu rezekinya. Ia terlalu sibuk mengurus istri, anak-anak, pekerjaan, dan dunia luar, sementara ibunya—yang dahulu rela mengorbankan segalanya—perlahan terabaikan, terlupakan, terpinggirkan.
Kesuksesan bukanlah alasan untuk melupakan kewajiban kepada ibu. Justru di tengah kelapangan itulah, seseorang diuji: apakah hatinya ikut membesar atau malah mengecil di hadapan ibunya sendiri?
Laki-Laki, Wajib Berbakti hingga Akhir Hayat
Seorang laki-laki tidak pernah kehilangan kewajibannya kepada sang ibu, sekalipun ia telah berkeluarga dan menjadi kepala rumah tangga. Ia tetap berkewajiban menafkahi, menjaga, mengunjungi, dan menyayangi ibunya. Karena ibu bukanlah “masa lalu” yang boleh ditinggalkan, tapi sumber keberkahan yang tak pernah berhenti mengalir.
Jika seorang laki-laki lupa memberi, enggan datang, atau bahkan menganggap ibunya sebagai beban—maka sesungguhnya ia sedang menanam benih murka Tuhan di hidupnya sendiri. Dan saat murka itu tumbuh, tak ada benteng yang bisa melindunginya.
Tuhan Akan Menyentuh Hati yang Lupa, dengan atau tanpa Peringatan
Ketika tidak ada manusia yang cukup dekat untuk menegur, ketika tidak ada yang cukup peduli untuk menyadarkan, Tuhanlah yang akan turun tangan. Tapi ingat: Tuhan tidak selalu menyentuh dengan kelembutan. Kadang, Ia hadir dengan peringatan. Dalam bentuk kehilangan, kerugian, konflik, atau kegelisahan yang tak kunjung reda.
Dan itu bukan karena Tuhan membenci, tapi karena Tuhan ingin menyelamatkan—menarik kembali hati yang mulai jauh dari cinta paling murni: cinta seorang ibu.
Jangan Tunggu Tuhan Menegur dengan Ujian
Sebelum teguran itu datang, sebelum penyesalan menyusul, berhentilah sejenak dan lihatlah wajah ibumu. Sudahkah kamu mengunjunginya bulan ini? Sudahkah kamu memberi kabar dengan tulus? Sudahkah kamu menanyakan keperluannya dan menyisihkan hartamu untuknya?
Jangan tunggu kaya raya. Jangan tunggu senggang. Karena bila ajalnya datang lebih dulu, maka yang tersisa hanyalah “andai saja”—dan itu terlalu mahal untuk dibayar dengan air mata.
Penutup: Kembali Pulang Sebelum Terlambat
Sukses itu bukan soal punya banyak, tapi soal tahu siapa yang harus dibahagiakan terlebih dahulu. Dan tidak ada kebahagiaan yang lebih mulia daripada melihat seorang ibu tersenyum karena anak lelakinya masih ingat bahwa ia adalah pintu surganya.
Maka jika hari ini kamu membaca ini dan terdiam, jangan tunda lebih lama. Bertindaklah. Kembalilah. Berbaktilah. Jangan biarkan Tuhan menjadi satu-satunya yang harus menyadarkanmu—karena bisa jadi, teguran-Nya datang dalam bentuk yang tak kau harapkan.
By: Andik Irawan