Dalam perjalanan hidup, manusia dihadapkan pada banyak pilihan: memilih pendidikan, pekerjaan, pasangan, tempat tinggal, gaya hidup, dan sebagainya. Tapi dari sekian banyak pilihan itu, ada satu yang paling krusial, paling mendasar, dan paling menentukan arah akhir kehidupan—yaitu memilih keyakinan.
Keyakinan adalah inti dari hidup manusia. Ia bukan sekadar agama yang tertera di KTP, bukan pula tradisi turun-temurun tanpa makna. Keyakinan adalah landasan nilai, penuntun arah, dan penentu nasib—bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Maka, salah memilih keyakinan adalah kesalahan paling fatal, karena taruhannya bukan sekadar kebahagiaan sesaat, melainkan keselamatan abadi.
Sayangnya, banyak orang mengabaikan hal ini. Mereka memperlakukan keyakinan seperti warisan budaya, diikuti tanpa dipahami, dijalani tanpa ditelusuri. Mereka tidak pernah benar-benar bertanya: Apakah yang aku yakini ini benar? Apakah masuk akal? Apakah sesuai dengan fitrah? Apakah ajarannya bisa diuji dan dijelaskan?
Inilah bentuk kebodohan yang paling berbahaya—bodoh dalam urusan yang paling besar. Sebab ketika seseorang keliru dalam memilih keyakinan, hidupnya akan dipandu oleh nilai yang salah. Ia bisa berbuat zalim karena merasa itu suci. Ia bisa menolak kebenaran karena diajari untuk membenci akal. Lebih buruk lagi, ia bisa mengorbankan keselamatan dirinya sendiri, hanya karena tidak pernah menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh.
Gunakan akalmu secara maksimal. Tuhan tidak menciptakan akal untuk disimpan, apalagi dibungkam. Akal adalah alat untuk menimbang, untuk membedakan antara benar dan salah, antara yang masuk akal dan yang dusta. Jangan pernah memilih keyakinan hanya karena ikut-ikutan. Jangan hanya percaya karena itu yang diajarkan sejak kecil. Carilah kebenaran dengan jujur, karena keyakinan yang benar tidak takut diuji oleh akal sehat.
Pelajari kitab sucinya. Telusuri sumber-sumbernya. Apakah orisinal atau penuh revisi? Apakah mengajak berpikir atau justru melarang bertanya? Agama yang benar tidak pernah membungkam logika. Ia justru menguatkan nalar, menyentuh hati, dan memuaskan akal.
Jika ada yang tidak masuk akal bagimu, jangan diterima begitu saja. Kebenaran tidak membutuhkan paksaan. Ia terang, lugas, dan logis. Keyakinan sejati tidak membutakan, justru menerangi.
Ingatlah, hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan dalam kebodohan yang tenang. Jangan tunggu akhirat untuk menyadari bahwa pilihan keyakinanmu salah. Pikirkan sekarang, selidiki sekarang, ubah sekarang jika perlu.
Karena pada akhirnya, kita semua akan mempertanggungjawabkan keyakinan yang kita pilih. Dan ketika saat itu tiba, tidak ada lagi ruang untuk menyesal. Maka selama masih ada waktu—gunakan akalmu, cari kebenaran, dan jangan pernah salah memilih keyakinan.
By: Andik Irawan