“Kemuliaan Perempuan dan Bahaya Joget di Era Digital: Ketika Nilai Ditinggalkan demi Sensasi”

Bagikan Keteman :


“Kemuliaan Perempuan dan Bahaya Joget di Era Digital: Ketika Nilai Ditinggalkan demi Sensasi”

Di tengah derasnya arus digital dan budaya viral, kita menyaksikan satu fenomena yang kian meluas: perempuan yang menari, berjoget, dan memamerkan gerakan tubuh di hadapan kamera—kemudian dibagikan ke publik tanpa batas.

Fenomena ini semakin dianggap lumrah. Bahkan disambut dengan pujian dan tepuk tangan. Tapi kita perlu berhenti sejenak, merenung dalam-dalam: apakah ini bagian dari kebebasan? Ataukah ini bentuk kebodohan yang tak disadari?

Perempuan adalah simbol kemuliaan, penjaga kehormatan, dan tiang utama peradaban. Dalam dirinya ada kekuatan lembut yang membangun, ada keteguhan yang mendidik, dan ada kewibawaan yang menyejukkan. Namun ketika tubuhnya dijadikan alat hiburan, ketika gerakannya dijadikan tontonan publik, maka nilai-nilai luhur itu mulai terkikis sedikit demi sedikit.

Bukan soal jogetnya. Tapi soal esensi dan tujuan dari itu semua. Ketika gerakan tubuh bukan lagi ekspresi kebahagiaan pribadi, tapi demi pujian, viralitas, dan perhatian dunia maya—maka di situlah wibawa mulai runtuh.

Apakah seorang perempuan tidak boleh bahagia? Tentu boleh. Tapi kebahagiaan yang sejati bukan berasal dari sorotan mata dunia, melainkan dari rasa damai karena tahu diri, tahu nilai, dan tahu arah.

Ketika seorang perempuan tahu nilai dirinya, maka ia akan menjaga kehormatannya. Ia akan menyadari bahwa dirinya terlalu berharga untuk dijadikan bahan tontonan murah. Ia sadar bahwa tubuhnya bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk dijaga sebagai amanah dan kehormatan.

Dan inilah yang harus kita sadarkan: kemuliaan perempuan bukan dibangun dari popularitas, tapi dari prinsip. Bukan dari tepuk tangan penonton, tapi dari kemampuan menjaga diri di tengah godaan dunia.

Jika budaya joget ini tidak dikritisi, tidak dihentikan, dan terus dinormalisasi, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya tembok kehormatan perempuan secara perlahan. Dan jika perempuan kehilangan wibawa, maka generasi yang lahir darinya pun akan kehilangan arah.

Maka siapa pun kita—perempuan, laki-laki, tua, muda—mari buka mata dan hati. Jadilah pelindung nilai, bukan pengikut tren membabi buta. Angkat martabat perempuan, bukan eksploitasi tubuhnya. Jadilah penonton yang bijak, yang tak mudah terpesona oleh tampilan luar tanpa substansi.

Perempuan adalah cahaya peradaban. Jika ia terang, dunia akan cerah. Tapi jika ia meredup, maka dunia pun ikut gelap.

Mari bangkitkan kembali kesadaran luhur ini. Mari motivasi perempuan untuk kembali memuliakan dirinya. Karena perempuan yang mulia—bukan yang ditonton banyak orang, tapi yang disegani karena akhlaknya, dijaga karena kehormatannya, dan dihormati karena prinsip hidupnya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment