Sengketa Tanah dan Panggilan untuk Kepemimpinan yang Bijaksana

Bagikan Keteman :


Persoalan tanah bukanlah perkara sederhana. Ia menyentuh dua ranah yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia: hukum dan sejarah sosial. Di satu sisi, tanah adalah aset legal yang diatur oleh hukum positif, memerlukan dokumen, sertifikat, dan prosedur administratif. Namun di sisi lain, tanah juga adalah ruang hidup, simbol perjuangan, dan warisan yang mengandung nilai historis, emosional, bahkan spiritual bagi banyak orang.

Sering kali, dua sisi ini tidak berjalan beriringan. Sebuah tanah bisa saja sah secara administrasi, namun di lapangan terjadi klaim, penolakan, atau bahkan konflik berkepanjangan. Mengandalkan pendekatan hukum semata tidak cukup. Mengabaikan aspek hukum dan hanya berpihak pada narasi sosial pun tak bijak. Di sinilah kita memerlukan pendekatan yang lebih moderat dan menyeluruh: perpaduan antara pendekatan hukum dan sosial.

Namun, pendekatan semacam ini tidak bisa dijalankan oleh sembarang orang. Ia menuntut kehadiran pemimpin yang matang, arif, dan berpengalaman. Pemimpin yang tidak hanya paham pasal-pasal dalam peraturan, tetapi juga mengerti suara hati masyarakat. Pemimpin yang mampu berdiri di tengah arus, mendengar dengan hati, dan mengambil keputusan dengan nurani.

Kepemimpinan seperti ini adalah panggilan zaman. Dalam dunia yang semakin kompleks, pemimpin bukan hanya ditantang untuk menjadi penegak hukum, tetapi juga menjadi juru damai dan penjaga keadilan sosial. Dibutuhkan jam terbang, kebijaksanaan, dan kecerdasan emosional untuk menjalankan tugas mulia ini.

Sengketa tanah adalah cermin. Ia mencerminkan bagaimana kita memperlakukan keadilan—apakah hanya sebagai teks dalam undang-undang, atau sebagai ruh yang hidup dalam masyarakat. Di balik setiap konflik tanah, ada cerita manusia. Ada keluarga yang berharap. Ada komunitas yang bertahan. Dan ada negara yang diuji.

Maka, mari kita dorong hadirnya pemimpin-pemimpin yang tak hanya kuat secara administratif, tetapi juga bijaksana secara moral. Kepemimpinan yang mampu menjembatani hukum dan kemanusiaan, aturan dan keadilan, legalitas dan legitimasi.

Inilah saatnya membangun peradaban agraria yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkeadaban. Dan semua itu dimulai dari satu hal: kepemimpinan yang berani berjalan di jalan tengah—jalan keadilan yang sesungguhnya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment