Saya anak pertama.
Lahir dari keluarga miskin.
Hidup saya jauh dari kata nyaman—sejak kecil hingga dewasa.
Tak ada yang mudah. Tak ada yang mewah. Bahkan untuk sekadar bertahan pun kadang terasa seperti perjuangan besar.
Tapi tanpa saya sadari…
semua itu adalah proses pendidikan paling hebat yang pernah saya jalani.
Bukan dari sekolah elite, bukan dari guru terkenal, tapi dari kehidupan yang keras dan tak kenal ampun.
Dari Kemiskinan, Tumbuh Karakter Tangguh
Karena kemelaratan, saya jadi terbiasa bekerja keras.
Karena tak ada yang bisa diandalkan, saya belajar melakukan segalanya sendiri.
Karena tak ada kemewahan, saya belajar menghargai hal kecil.
Karena hidup keras, saya jadi pribadi yang kuat, tak mudah menyerah, dan berani menghadapi apa pun.
Saya bukan siapa-siapa, tapi saya bisa melakukan apa saja.
Dari tangan saya, saya belajar bertahan. Dari kaki saya, saya belajar berjalan tanpa bantuan. Dari hati saya, saya belajar tabah menghadapi hidup.
Dan Yang Terpenting: Agama Jadi Kompas Hidupku
Saat dunia sering tak ramah, saat keadaan begitu gelap, iman di dada saya tak pernah padam.
Saya bersyukur karena sejak kecil, saya dekat dengan agama.
Tuhan yang saya kenal bukan hanya tempat mengadu, tapi juga kekuatan yang tak terlihat namun selalu terasa.
Saat tak ada yang menolong, saya berdoa.
Saat semua terasa berat, saya bersujud.
Dan di situlah saya merasa: saya tak pernah benar-benar sendiri.
Kemelaratan Adalah Sekolah Kehidupan
Kini saya sadar…
Kemiskinan bukanlah kutukan.
Ia adalah guru yang kasar tapi jujur.
Ia mendidik tanpa memanjakan. Ia mengajarkan hidup dengan realita, bukan mimpi.
Dan siapa yang bertahan dalam kerasnya didikan itu, akan tumbuh menjadi pribadi tangguh.
Saya salah satunya.
Dan saya bangga—bukan karena saya hebat,
tapi karena saya tidak menyerah.
Penutup: Saat Kita Lahir dari Kesederhanaan, Kita Tahu Arti Segalanya
Saya tidak iri pada mereka yang lahir dalam kenyamanan.
Karena saya tahu, kenyamanan tak selalu melahirkan kekuatan.
Tapi kesulitan yang saya alami—justru membuat saya berdiri lebih kokoh hari ini.
Terima kasih pada hidup yang keras.
Terima kasih pada kemiskinan yang mendidik.
Dan terima kasih pada Tuhan, yang tak pernah pergi meski dunia sering berpaling.
Inilah kisah saya. Bukan kisah tentang kesuksesan materi. Tapi tentang keberhasilan bertahan dan tetap teguh memegang iman.
By: Andik Irawan