Ketika Anak Tidak Diajar Disiplin: Masa Depannya bagaimana?
Bayangkan seorang anak kecil, bangun pagi tanpa alarm, makan tanpa aturan, bermain sesuka hati, tidur larut malam sambil menatap layar ponsel. Tak ada yang menegur. Tak ada yang membimbing.
Ia tumbuh di rumah yang hangat, tapi hampa arah. Lalu ia masuk sekolah. Mungkin kita berharap sekolah akan “memperbaiki” semuanya. Tapi ternyata, sekolah pun hanya mengajarkan hafalan, bukan kebiasaan. Nilai bagus bukan karena disiplin, tapi karena contekan atau keberuntungan.
Anak ini pun tumbuh, melangkah dari hari ke hari tanpa pernah benar-benar mengenal apa itu tanggung jawab.
Maka pertanyaannya: siapa yang salah jika kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang bebas, tapi tak bertanggung jawab?
Disiplin Itu Ditanam, Bukan Diharapkan
Anak bukan kertas kosong. Ia spons. Ia menyerap apa yang ada di sekitarnya.
Dan jika sejak kecil ia tidak disiram dengan teladan kedisiplinan,
maka jangan heran jika kelak ia tidak kenal aturan, tidak peduli waktu,
dan tidak tahu caranya mengatur hidup.
Kedisiplinan bukan soal marah, bukan soal hukuman.
Ia soal konsistensi, kasih sayang, dan kebiasaan kecil yang dibentuk setiap hari.
Rumah Adalah Sekolah Pertama
Jangan serahkan seluruhnya pada sekolah.
Di rumah, anak belajar:
- Bangun pagi tepat waktu
- Merapikan tempat tidur
- Mengucap salam dan tolong-maaf-terima kasih
- Shalat tepat waktu, belajar dengan niat baik
Jika orang tua tidak mencontohkan itu,
jika rumah hanya tempat tidur dan makan,
maka anak akan kehilangan pondasi utama kehidupannya.
Sekolah Adalah Ladang Penguatan
Tapi sayangnya, banyak sekolah lebih sibuk mengejar nilai daripada membangun karakter.
Anak dibiarkan datang terlambat. Tugas bisa ditiru.
Pelanggaran dianggap biasa.
Padahal, di sekolah lah anak seharusnya diperkenalkan pada:
- Konsekuensi dari pilihan
- Penghargaan atas ketepatan waktu
- Rasa bangga karena mengerjakan tugas sendiri
Jika ini tidak hadir, maka sekolah hanya menjadi tempat duduk dan pulang — bukan tempat pembentukan pribadi.
Lalu Anak Tumbuh Tanpa Arah
Tanpa disiplin, anak tumbuh seperti kapal tanpa kemudi.
Hari-harinya mengalir tanpa arah. Impiannya besar, tapi tak pernah sampai karena ia tidak tahu caranya bertahan dalam proses dan tanggung jawab.
Kelak, ketika ia dewasa, ia bingung menghadapi hidup.
Mudah menyerah. Tak bisa menunda kesenangan.
Tak bisa diandalkan.
Dan kita pun berkata, “Kenapa kamu begini, Nak?”
Padahal jawabannya: Karena kami tidak pernah benar-benar mengajarkan bagaimana hidup.
Kita Tak Bisa Menunggu Keajaiban
Ya, kadang ada anak yang tiba-tiba berubah. Bertemu guru hebat. Sahabat yang menginspirasi. Peristiwa yang menyadarkan.
Tapi apakah kita mau menyerahkan masa depan anak pada ‘keajaiban’?
Tidak. Kita harus menjadi keajaiban itu sendiri.
Sebagai orang tua. Sebagai guru. Sebagai masyarakat.
Penutup: Anak Itu Amanah, Bukan Kebetulan
Anak tidak dilahirkan disiplin. Tapi anak bisa dibentuk menjadi sosok yang luar biasa — jika kita mau hadir, membimbing, dan menjadi contoh nyata.
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hari ini, kita mungkin sibuk mencari sekolah terbaik. Tapi jangan lupa:
Sekolah terbaik pertama adalah rumah, dan guru pertamanya adalah kita.
By: Andik Irawan