Di tengah derasnya arus pemikiran modern, kita sering menjumpai orang-orang berilmu tinggi, cerdas, fasih berbicara soal nilai-nilai, bahkan tak jarang berasal dari keluarga ulama, namun bersikap bertolak belakang dengan ajaran agama. Salah satu fenomena yang menyayat hati adalah ketika seorang muslimah menolak menutup aurat—padahal jelas dalam syariat bahwa rambut wanita adalah aurat yang wajib ditutupi.
“Banyak Jalan Menuju Tuhan”? Sebuah Apologi Kosong
Beberapa di antara mereka berdalih, “jalan menuju Tuhan itu banyak”, seolah-olah ketaatan terhadap syariat adalah pilihan opsional, bukan keharusan. Padahal, dalam Islam, ketaatan kepada Allah adalah jalan satu-satunya yang diakui. Iman bukan hanya keyakinan dalam hati, tapi juga diwujudkan dalam amal.
“Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…” (QS. Ali-Imran: 31)
Jika seseorang mengaku sedang menempuh jalan menuju Tuhan, tapi justru mengingkari perintah-Nya, maka itu bukan jalan yang lurus—melainkan jalan yang dibangun atas nafsu dan pembenaran diri.
Putri Ulama, Tapi Membantah Syariat
Yang membuat banyak orang terpukul adalah ketika sosok yang bersikap seperti ini ternyata adalah anak dari ulama besar, mufasir terkemuka yang dihormati seantero negeri. Bukannya menjadi cermin ilmu dan adab, ia justru menjadi kontradiksi hidup dari warisan keilmuan sang ayah.
Namun, Islam mengajarkan bahwa hidayah tidak bisa diwariskan, bahkan Nabi Nuh pun tak mampu menyelamatkan anaknya yang ingkar. Setiap jiwa akan memikul beban amalnya sendiri.
Cerdas, Tapi Sombong: Kesesatan Berpikir Modern
Cerdas bukan berarti benar. Iblis juga cerdas dan ahli ibadah, tapi ia hancur karena kesombongan. Ia menolak sujud kepada Adam karena merasa lebih baik. Bukankah ini mirip dengan sebagian manusia hari ini—yang merasa lebih tahu dari Tuhan hanya karena memiliki gelar, panggung, dan popularitas?
Ini adalah kesesatan berpikir (fasādul fikr): menggunakan logika untuk menentang wahyu. Menyusun narasi pembenaran agar terlihat seolah-olah berilmu, padahal sejatinya membangkang.
Penutup: Jangan Bangga Membantah Tuhan
Menjadi pintar bukan alasan untuk menentang perintah Allah. Menjadi anak ulama bukan jaminan akan mengikuti jejak kebaikan orang tuanya. Dan membungkus pembangkangan dengan istilah “jalan spiritual alternatif” hanyalah cara halus untuk berkata: “Saya tidak mau taat, dan saya ingin merasa tetap benar.”
Maka, mari kita jaga hati, akal, dan syariat kita. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disebut Allah:
“Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menolaknya karena kesombongan di hati mereka.” (QS. Al-Baqarah: 87)
Semoga Allah menjaga kita dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang keras, dan akal yang digunakan untuk membangkang. Dan semoga orang-orang yang tersesat kembali ke jalan yang lurus sebelum ajal menjemput.
By: Andik Irawan