Ketika Saudara Tak Lagi Serumah: Menyikapi Dinamika Kehidupan Keluarga

Bagikan Keteman :


Dulu, kita tumbuh bersama di bawah satu atap. Saudara kandung adalah teman bermain, teman bertengkar, sekaligus tempat berbagi segala hal—dari makanan, mainan, hingga rahasia kecil. Tapi waktu tak pernah tinggal diam. Satu per satu kita tumbuh, menikah, dan akhirnya memilih jalan hidup masing-masing. Rumah itu perlahan menjadi sepi, digantikan oleh rumah-rumah baru yang kita bangun sendiri.

Inilah dinamika kehidupan. Yang dulu selalu bersama, kini berjalan sendiri-sendiri. Yang dulunya saling tunggu saat makan malam, sekarang bahkan lupa menanyakan kabar lewat pesan singkat.

Saat Ego Mengalahkan Rasa

Beberapa dari kita tetap menjaga silaturahmi, datang menjenguk orang tua, menyapa adik atau kakak di sela kesibukan. Tapi tak bisa dipungkiri, ada juga yang menjauh. Bukan karena jarak, tapi karena ego. Hati yang terluka, gengsi yang menjulang, atau mungkin karena merasa tidak lagi butuh. Saudara tak lagi menjadi prioritas. Bahkan orang tua pun hanya sesekali diingat, lebih sering dilihat sebagai beban daripada berkah.

Ironis, namun nyata. Hubungan darah pun bisa pudar ketika hati tertawan oleh dunia dan ambisi pribadi.

Yang Sukses Dipuji, Yang Melarat Dicaci

Masyarakat pun tak kalah tajam dalam menilai. Yang hidupnya mapan disanjung, dijadikan kebanggaan keluarga. Sementara yang masih berjuang, sering dicibir bahkan disingkirkan. Padahal kita tak pernah tahu sekeras apa mereka bertahan. Hidup memang keras, dan tak semua orang punya bekal yang sama untuk menghadapinya.

Kita lupa, bahwa nilai seseorang bukan hanya diukur dari apa yang dia miliki, tapi dari bagaimana ia bertahan, berjuang, dan tetap memilih menjadi baik meski hidup terus menyakiti.

Belajar Menerima, Meski Kadang Menyakitkan

Mungkin tidak semua saudara bisa kita peluk seperti dulu. Tidak semua hubungan bisa kembali hangat seperti masa kecil. Tapi bukan berarti kita berhenti menjadi baik. Justru di tengah jarak dan dinginnya hubungan, kitalah yang bisa memilih untuk tetap menghubungi, mendoakan, dan menjaga hati tetap lembut.

Karena hidup bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang tetap bertahan menjadi manusia yang utuh, yang tidak kehilangan kasih meski dilukai.


Penutup: Kehidupan memang keras, dan saudara kandung tak selalu sejalan. Tapi jangan biarkan luka dan kesibukan membuat kita lupa akan akar yang sama. Bila tidak bisa dekat, minimal jangan saling melupakan.

Barangkali, dengan tetap menjadi baik, kita sedang menyelamatkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan—yakni kemanusiaan itu sendiri.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment