Lampu Tetangga Menyala, Rumah Sendiri Gelap: Ironi Dana Umat di Desa Kita
Di ujung desa itu, seorang janda tua menahan lapar. Di rumah sebelah, seorang anak yatim merapikan seragam sekolah bekas yang sudah lusuh. Di sisi lain, seorang bapak tua menarik nafas panjang, memikirkan dari mana harus membayar obat esok hari.
Tapi di saat yang sama, ada lembaga yang berhasil menghimpun dana umat dari desa itu—hingga 8 sampai 10 juta rupiah setiap bulannya.
Ironisnya?
Uang itu tak pernah kembali menyentuh orang-orang kecil di desa sendiri.
Dana itu mengalir… jauh keluar. Ke proyek besar di kabupaten. Ke program bantuan di luar wilayah. Ke lembaga pusat yang entah siapa penerimanya. Sementara, tetangga sendiri dibiarkan menunggu uluran tangan yang tak pernah datang.
Inilah Ironi Kemanusiaan yang Berbungkus Amal
Islam datang untuk membela yang lemah. Mengangkat derajat fakir, miskin, anak yatim, janda, dan semua yang tertindas. Tapi mengapa, ketika kekuatan kolektif umat telah terkumpul, yang paling dekat justru dilupakan?
Bukankah Nabi SAW bersabda:
“Mulailah dari orang yang paling dekat kepadamu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Bukankah Al-Qur’an memerintahkan:
“Berikanlah haknya kepada kerabat dekat, orang miskin, dan ibnu sabil…” (QS. Al-Isra’: 26)
Namun kenyataannya, dana umat dari desa justru menjadi “pajak emosi” yang dihimpun dari rasa peduli warga, tapi tidak pernah kembali dalam bentuk kasih sayang sosial yang nyata.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
- Sentralisasi Amal yang Tidak Adil
Banyak lembaga pengelola dana umat bekerja seperti perusahaan: menghimpun dari bawah, tapi mengelola dari atas. Padahal, yang lapar bukan hanya orang kabupaten, tapi juga tetangga kita sendiri. - Tidak Ada Data, Tidak Ada Suara
Desa tidak punya sistem pendataan dhuafa sendiri. Tidak ada yang mendata siapa yang butuh bantuan, siapa yang layak disantuni. Akibatnya, orang-orang terdekat justru tak terjangkau. - Warga Diposisikan sebagai Donatur, Bukan Bagian dari Solusi
Warga hanya diminta menyumbang, tanpa tahu ke mana arah dan dampaknya. Lama-lama, ini menjadi ritual amal tanpa ruh kemanusiaan.
Membangun Ulang Paradigma: Amal Harus Dimulai dari Rumah
Mari kita luruskan kembali.
Amal bukan hanya tentang banyaknya donasi, tapi tentang tepat sasaran dan penuh empati. Jangan sampai kita sibuk menolong orang jauh, tapi tak sadar ada air mata di rumah tetangga sendiri.
Umar bin Khattab berkata:
“Jika ada satu rakyatku yang kelaparan dan aku tidak tahu, maka akulah yang berdosa di hadapan Allah.”
Bila Umar takut akan dosa karena satu orang lapar, maka bagaimana dengan kita yang membiarkan satu desa tertinggal… padahal dana sudah ada?
Penutup: Saatnya Desa Mengurus Diri Sendiri
Kini saatnya membangun ulang.
- Bentuk tim kecil: data siapa yang dhuafa dan butuh bantuan.
- Buat aturan: minimal 50–70% dana amal dari desa harus kembali ke desa.
- Bangun sistem: transparan, jujur, dan terstruktur.
- Dan yang terpenting: bangkitkan kembali ruh kasih sayang Islam yang adil dan membumi.
Karena tak ada gunanya menyalakan lentera di kota lain…
jika rumah kita sendiri dibiarkan dalam gelap.
By: Andik Irawan