Antara Takut dan Berani: Ketika Penakut Duduk di Singgasana Pemimpin

Bagikan Keteman :


Antara Takut dan Berani: Ketika Penakut Duduk di Singgasana Pemimpin

Dalam dada manusia, hanya ada ruang untuk satu: keberanian atau ketakutan.
Jika keberanian tumbuh, maka ketakutan pergi.
Namun jika ketakutan yang tumbuh subur, maka keberanian lenyap, tak berbekas.

Dan yang lebih berbahaya dari ketakutan itu sendiri adalah ketakutan yang dibungkus dengan topeng keberanian.


Fenomena Penakut yang Merasa Pemberani

Betapa banyak hari ini kita saksikan orang-orang yang memproklamirkan diri sebagai pemberani, tetapi gemetar menghadapi kenyataan. Mereka berkata tegas, tapi hanya kepada yang lemah. Mereka berlagak kuat, tapi hanya di depan kamera. Mereka terlihat gagah, tapi penuh ketakutan dalam setiap keputusan.

Ketakutan mereka bukan lagi satu dua. Tapi berjajar seperti bayangan panjang:

  • Takut miskin.
  • Takut sengsara.
  • Takut dikucilkan.
  • Takut kehilangan jabatan.
  • Takut dicela.
  • Takut diperkarakan.
  • Takut tak populer.
  • Takut kehilangan akses kekuasaan.
  • Dan yang paling besar: takut mati.

Namun lucunya, mereka tetap tampil sebagai sosok yang “berani.”
Padahal kenyataannya, mereka hanyalah kerbau yang dicongkel hidungnya oleh kekuasaan dan uang.


Ketika Penakut Menjadi Pemimpin

Inilah bencana sesungguhnya.
Bukan sekadar ketakutan pribadi, tapi ketakutan yang dipaksakan menjadi arah kebijakan publik.
Bayangkan jika orang yang penakut duduk di kursi pemimpin:

  • Ia tak berani membela yang benar jika yang salah punya kuasa.
  • Ia tak berani membuat keputusan strategis karena takut kehilangan popularitas.
  • Ia tak berani menolak tekanan asing karena takut investasi kabur.
  • Ia hanya berani menyalahkan rakyat, bukan berhadapan dengan para mafia.

Dan rakyat pun jadi korban.

Negara kehilangan arah. Kebijakan hanya untuk menyenangkan “atasan”. Dan masyarakat dibiarkan terombang-ambing tanpa perlindungan. Di tangan pemimpin penakut, negeri ini menjadi ladang percobaan para penjajah baru.


Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Pertama, sadari satu hal penting: keberanian itu bukan bawaan lahir, tapi keputusan hati.
Ia muncul ketika seseorang memilih untuk jujur, walau sendirian.
Ia tumbuh saat seseorang rela kehilangan dunia demi membela kebenaran.

Keberanian bukan tentang suara keras, bukan tentang gaya otoriter.
Keberanian adalah keteguhan jiwa, bahkan ketika dunia berbalik menyerang.

Kedua, kita harus menolak untuk tunduk pada pemimpin yang hanya berani karena ada kekuasaan di belakangnya, tapi lemah saat harus membela rakyat. Kita butuh pemimpin yang berani berdiri tegak—meski sendirian.


Kesimpulan: Keberanian Itu Harus Dilatih, Bukan Dipoles

Jika hari ini kita melihat banyak “pemimpin” yang nyatanya hanya penakut dengan gaya garang, maka jangan diam.
Tanyakan, “Keberanianmu itu di mana?”

Dan jika hari ini belum ada yang berani memimpin dengan hati yang bersih dan nyali yang utuh,
maka bersiaplah: mungkin kamulah calon pemimpin sejati itu.

Karena satu orang pemberani, yang benar-benar tulus,
lebih kuat dari seribu penakut yang hanya bisa bicara.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment