Belajar dari Anak Punk: Ketika Organisasi Bukan Sekadar Struktur, Tapi Rasa Memiliki
Kita mungkin sering melihat anak-anak punk nongkrong di pinggir jalan, di bawah jembatan, atau di taman kota. Rambut warna-warni, pakaian lusuh, kadang dianggap “liar” oleh masyarakat umum. Tapi jika kita lihat lebih dalam, ada sesuatu yang luar biasa dari mereka: cara mereka berkelompok.
Mereka selalu bersama.
Mereka saling bela.
Mereka punya rasa memiliki yang kuat terhadap kelompoknya.
Mereka tak terlalu peduli pandangan orang luar, yang penting “anak kelompok gua” aman dan nyaman.
Apa yang bisa kita pelajari?
1. Rasa Memiliki: Itulah Inti dari Organisasi Sejati
Anak punk mungkin tak punya AD/ART, tak ada struktur organisasi rapi, apalagi sekretariat mewah. Tapi satu hal yang mereka miliki lebih dari banyak organisasi formal: kebersamaan yang militan.
- Mereka ngopi bareng bukan karena ada rapat
- Mereka saling bantu bukan karena diminta
- Mereka hadir bukan karena disuruh
Tapi karena “ini kelompok gua”—sebuah identitas, rasa memiliki yang menyatu dengan jiwa.
Bukankah itu yang seharusnya terjadi di organisasi?
2. Organisasi Itu Mirip Keluarga, Bukan Kantor
Seringkali kita keliru menjadikan organisasi seperti kantor—penuh aturan tapi miskin perasaan. Padahal, organisasi yang sehat itu seperti keluarga:
- Ada ikatan batin
- Ada rasa saling jaga
- Ada kebiasaan bersama
- Ada ruang untuk menjadi diri sendiri
Anak punk mempraktikkan itu secara ekstrem. Mereka sangat kompak. Yang bukan kelompoknya, ya dianggap “orang luar.” Bukan karena sombong, tapi karena mereka punya sense of belonging yang kuat—yang lahir dari pengalaman hidup bersama.
3. Jadi, Haruskah Organisasi Seperti Anak Punk?
Bukan berarti kita meniru semua gaya hidup mereka. Tapi kita bisa belajar dari semangat kebersamaan dan rasa kepemilikan mereka terhadap kelompok.
- Organisasi butuh struktur, iya.
- Tapi lebih dari itu, organisasi butuh rasa.
- Butuh kehangatan yang hanya bisa tumbuh dari kebersamaan yang tulus.
Kalau organisasi hanya diikat oleh program kerja dan surat tugas, maka ia akan rapuh. Tapi jika diikat oleh loyalitas emosional, maka ia akan kuat meski tanpa fasilitas.
Penutup: Saatnya Belajar dari yang Dianggap “Pinggiran”
Kadang pelajaran besar datang dari tempat yang tak terduga.
Anak punk mengajari kita bahwa organisasi itu bukan soal rapat, bukan soal jabatan, tapi soal rasa memiliki.
Maka mari kita ciptakan organisasi yang seperti keluarga.
Yang bukan sekadar tempat kerja, tapi tempat pulang.
Tempat di mana kita tidak hanya dihargai karena fungsi, tapi dicintai karena kehadiran.
Karena ketika rasa memiliki tumbuh, organisasi akan hidup.
Dan ketika organisasi hidup, tak ada yang bisa menghentikan geraknya.
By: Andik Irawan