Setelah akal sehat mengakui bahwa semesta ini tidak mungkin hadir begitu saja tanpa penyebab, ia pun menyimpulkan bahwa Tuhan — Sang Pengatur — benar-benar ada. Namun, perjalanan belum selesai. Sebab muncul pertanyaan penting:
Jika Tuhan benar-benar ada, maka agama manakah yang benar-benar berasal dari-Nya?
Di sinilah akal berperan kembali. Ia tak boleh berhenti hanya pada pengakuan, tapi harus mencari, menimbang, dan memilih. Dunia ini penuh dengan tawaran agama dan keyakinan, dan semuanya mengklaim sebagai jalan kebenaran. Maka, bagaimana cara akal membedakan mana yang betul-betul dari Tuhan?
Jawabannya ternyata sederhana namun mendalam:
Pilihlah agama yang paling menghormati akal, paling sesuai dengan logika, dan paling mendekatkan manusia pada kebenaran yang fitri.
1. Prinsip Ketunggalan: Tuhan Itu Harus Esa
Langkah pertama dalam menyaring agama adalah melihat bagaimana agama itu memahami konsep ketuhanan.
Akal akan segera memahami bahwa:
- Alam semesta ini sangat teratur.
- Keteraturan hanya mungkin terjadi jika ada satu pusat kendali, satu kehendak, satu pengatur.
Ibarat sebuah mobil — jika dikemudikan oleh dua sopir sekaligus, pasti akan kacau. Maka logikanya, untuk menjaga arah dan kestabilan perjalanan, pengemudi harus tunggal.
Begitu pula semesta. Jika ada dua atau lebih Tuhan, alam pasti tidak stabil. Maka Tuhan harus tunggal — tidak ada sekutu, tidak berbilang, tidak bercabang. Hanya Satu Zat Yang Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahaadil.
Agama yang mengajarkan ketunggalan Tuhan secara mutlak — inilah yang lolos uji logika pertama.
2. Pewahyuan yang Masuk Akal: Tuhan Menyampaikan Pesan Melalui Perantara
Langkah kedua: bagaimana ajaran Tuhan sampai kepada manusia?
Logika sederhana akan berkata:
- Tuhan Maha Tinggi, tak bisa diakses langsung oleh manusia biasa.
- Maka, harus ada perantara, utusan yang menyampaikan pesan-Nya.
- Perantara ini bisa berupa makhluk gaib (malaikat) yang menyampaikan wahyu kepada manusia pilihan — yang dikenal sebagai nabi atau rasul.
- Nabi ini kemudian menyampaikan ajaran Tuhan kepada umat manusia, dan menjadi sumber dari kitab suci.
Itu adalah alur pewahyuan yang logis, masuk akal, dan terstruktur.
Agama yang mengklaim berasal dari Tuhan, tapi proses ajarannya tidak melalui skema ini, patut diragukan.
3. Isi Ajaran: Sejalan dengan Akal dan Nurani
Setelah melihat konsep Tuhan dan alur pewahyuan, akal juga harus meneliti isi dari ajaran agama tersebut.
Agama sejati akan:
- Mengajak manusia berpikir, merenung, dan mencari ilmu.
- Mendorong kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.
- Melatih akhlak, memperkuat moral, dan menyeimbangkan antara hak pribadi dan sosial.
- Memandu manusia dalam menghadapi kehidupan dunia sekaligus mengarahkannya pada kehidupan setelah mati.
Jika isi ajaran tersebut sesuai dengan suara hati dan nalar, maka itulah agama yang layak dipercaya. Karena Tuhan yang menciptakan akal, mustahil mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat.
4. Agama Sejati adalah Kawan Akal, Bukan Musuhnya
Seringkali, orang beranggapan bahwa agama adalah lawan berpikir. Padahal tidak. Justru agama yang sejati memperkuat kekuatan berpikir manusia. Ia tidak menumpulkan akal, tapi menyinarinya.
Tuhan menciptakan akal sebagai kompas awal menuju kebenaran, dan agama sebagai peta lengkap menuju tujuan akhir.
Akal memulai pencarian, agama menyempurnakannya.
Kesimpulan: Jalan Terang Menuju Agama yang Benar
- Akal menemukan Tuhan melalui logika keteraturan semesta.
- Tuhan yang sejati pasti satu, karena kesatuan kehendak menjaga keteraturan.
- Agama yang benar pasti memiliki proses pewahyuan yang rasional dan terstruktur.
- Isi ajaran agama itu harus sesuai dengan akal dan nurani universal.
Maka, agama yang paling logis, paling rasional, dan paling sesuai dengan suara hati adalah agama yang paling layak diakui sebagai kebenaran sejati. Dan siapa yang mengikutinya, dia sedang berjalan bersama cahaya akal dan cahaya wahyu sekaligus.
“Ketika akal dan iman bersatu, di sanalah cahaya kebenaran memancar. Dan agama sejati bukan memadamkan akal, tapi justru memandunya sampai mengenal Tuhan dengan lebih sempurna.”
By: Andik Irawan