“Tubuh Sehat, Jiwa Sehat? Pahami Dulu Sebelum Mengkritik”
Di tengah maraknya budaya berpikir kritis, banyak dari kita tergoda untuk mengoreksi setiap kalimat atau pepatah yang terdengar familiar. Salah satu yang sering jadi sasaran adalah ungkapan klasik:
“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” atau dalam bahasa Latin: Mens sana in corpore sano.
Beberapa orang menyanggahnya dengan menyatakan, “Banyak orang bertubuh sehat tapi jiwanya rusak, jahat, bahkan melakukan korupsi.” Lalu, mereka menyimpulkan bahwa ungkapan tersebut salah. Tapi tunggu dulu — apakah benar kritik itu tepat sasaran? Ataukah hanya sebuah reaksi yang keliru konteks?
Pahami Sebelum Menghakimi
Ungkapan Mens sana in corpore sano bukanlah teori ilmiah yang menyatakan hubungan sebab-akibat absolut. Kalimat ini berasal dari penyair Romawi, Juvenal, yang sebenarnya sedang berdoa dan berharap agar dalam tubuh yang sehat, juga bersemayam jiwa yang sehat. Itu artinya, ungkapan ini adalah ajakan untuk menjaga keseimbangan hidup, bukan rumus pasti.
Sayangnya, sebagian orang salah memahami konteks. Mereka berpikir bahwa ungkapan ini berarti “jika tubuhmu sehat, maka pasti jiwamu juga sehat”. Lalu ketika melihat orang sehat yang berperilaku buruk, mereka langsung membantah pepatah itu. Padahal ini seperti menyalahkan payung karena tetap kehujanan meskipun kita memakainya dengan cara yang salah.
Jiwa dan Raga: Bukan Siapa Duluan, Tapi Saling Menguatkan
Benarkah harus jiwa yang disembuhkan dulu, baru tubuh menjadi sehat? Atau sebaliknya?
Jawabannya bukan pada mana yang lebih dulu, melainkan pada sinergi antara keduanya. Tubuh yang sehat bisa membantu seseorang berpikir lebih jernih, tenang, dan produktif. Sebaliknya, jiwa yang tenang dan sehat mendorong seseorang untuk menjaga tubuhnya dengan baik.
Ini bukan soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana keduanya beriringan dan saling mendukung.
Kritik Harus Tepat Sasaran
Kritik yang baik adalah kritik yang memahami konteks, bukan asal bertentangan. Ungkapan bijak seperti ini bukan untuk dipatahkan dengan data mentah atau contoh ekstrem, melainkan untuk dimaknai sebagai arah hidup yang seimbang: rawat tubuhmu, rawat jiwamu. Keduanya penting. Keduanya saling menopang.
Jangan hanya karena menemukan satu contoh orang yang jahat meski sehat secara fisik, lantas kita membantah nilai-nilai yang sebenarnya mengajak pada kebaikan dan keseimbangan.
Hidup Seimbang adalah Kunci
Motivasi terbesar dalam hidup bukan hanya sukses secara materi, tapi menjadi manusia yang utuh: kuat raganya, tenang jiwanya, baik perilakunya. Jika kita ingin hidup lebih bahagia, produktif, dan bermanfaat, maka menjaga kesehatan fisik dan mental bukanlah pilihan — melainkan keharusan.
Maka, jika hari ini kamu merasa lelah, cobalah bangkit dan gerakkan tubuhmu. Olahraga ringan, minum air putih, hirup udara segar. Rasakan bagaimana tubuh yang mulai segar bisa mengangkat semangatmu. Dan jika hatimu sedang kacau, tenangkan jiwamu. Luangkan waktu untuk merenung, berdoa, atau berbicara dengan orang yang kamu percaya.
Karena sesungguhnya, jiwa dan tubuh adalah satu paket kehidupan. Tidak bisa dipisah, tidak bisa saling diabaikan.
Jadilah pribadi yang menjaga keseimbangan. Karena dari jiwa yang sehat dan tubuh yang kuat, lahirlah tindakan yang penuh kebaikan dan manfaat.
By: Andik Irawan