“Hati Itu Lugu dan Jujur: Maka Dekatkan Ia pada Cahaya”

Bagikan Keteman :


“Hati Itu Lugu dan Jujur: Maka Dekatkan Ia pada Cahaya”

Di antara karunia terbesar yang Allah titipkan kepada manusia adalah hati. Bukan sekadar segumpal daging, melainkan pusat rasa, keyakinan, dan kejujuran terdalam dalam diri manusia. Hati itu tidak bisa berdusta. Ia tidak lihai bersandiwara. Apa yang dirasakan, itulah yang ia ikuti. Ia polos, ia lugu, tapi sekaligus sangat menentukan arah hidup seseorang.

Berbeda dengan pikiran yang bisa diputar ke segala arah—mencari celah pembenaran, berdalih, bahkan memanipulasi kenyataan—hati hanya mengenal satu arah: apa yang ia rasakan benar, itulah yang akan ia ikuti.


Hati Memuji Apa yang Ia Dekati

Bayangkan seseorang yang setiap hari menjaga shalatnya, menegakkan ibadahnya, berzikir dengan khusyuk, dan membaca Al-Qur’an dengan cinta. Ketika suatu saat ia mendapat rezeki tak terduga, atau diselamatkan dari bahaya, spontan hati kecilnya berseru, “Ini pasti dari Allah!” Tanpa disuruh, hatinya tahu ke mana harus memuji.

Mengapa bisa begitu? Karena selama ini, hatinya sudah tertambat kuat kepada Tuhannya. Ia mengenal Tuhannya melalui ibadah dan ketaatan, sehingga ketika kebaikan datang, hati langsung menyambungkan peristiwa itu kepada Yang Maha Memberi.

Namun, lihatlah sisi lain…

Ada juga orang yang longgar dalam akidah. Ia menyepelekan ibadah, dan bahkan menggantungkan harapannya pada benda-benda seperti jimat atau benda mistik lainnya. Ketika terjadi keajaiban, seperti selamat dari kecelakaan atau lolos dari bahaya, tanpa sadar hatinya memuji jimatnya. “Untung ada ini… kalau tidak, aku pasti celaka.” Ia tidak sadar bahwa hatinya sudah tergelincir—bukan karena ia jahat, tetapi karena hatinya jujur pada apa yang ia yakini, walaupun itu salah.


Pelajaran Penting: Hati Itu Cermin Kedekatan

Hati hanya akan memuji apa yang selama ini dekat dengannya. Jika ia dekat pada Allah, maka setiap nikmat akan terasa sebagai pemberian dari-Nya. Namun jika hati lebih akrab dengan benda-benda syirik, kekuatan gaib, atau sekadar logika duniawi, maka di situlah pujian akan diarahkan.

Ingat, hati itu seperti anak kecil yang jujur. Ia tidak bisa berpura-pura. Maka siapa pun yang ingin menjaga kesucian hati, harus menanamkan kedekatan dengan Allah secara konsisten dan penuh cinta.


Motivasi untuk Kita: Didik Hatimu Seperti Menanam Benih

Jangan biarkan hati kita tumbuh liar tanpa arah. Ia harus dididik. Ia harus dipupuk dengan ilmu, disiram dengan zikir, dan dijaga dari keyakinan yang menyimpang.

Karena jika hati tidak dibimbing oleh iman dan ilmu, maka keluguannya akan menjadi bumerang. Ia bisa tersesat, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia terlalu jujur dalam kesalahan.

Maka, mari kita bentuk hati yang kuat, yang mengenal Tuhannya, yang terbiasa memuji Allah dalam senang maupun susah, dan yang tidak silau oleh hal-hal gaib yang menjauhkan dari tauhid.


Penutup: Jangan Takut Punya Hati yang Lugu, Tapi Takutlah Jika Hati Tak Lagi Mengenal Tuhannya

Hati yang lugu itu anugerah. Tapi ia butuh arah. Tugas kita adalah menuntunnya agar tetap menyala dalam cahaya iman. Jangan sampai kita memelihara tubuh dan pikiran dengan penuh perhatian, tapi lupa memberi makanan pada hati.

Sebab di hari akhir nanti, yang Allah lihat bukan ijazahmu, jabatanmu, atau harta yang kau miliki, tapi…

“…tidak ada yang berguna kecuali hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu’ara: 88–89)


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment