Martabat: Mahkota Kehidupan yang Harus Diperjuangkan
Di antara sekian banyak anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia, martabat adalah salah satu yang paling agung. Ia bukan sekadar simbol kehormatan atau status sosial, melainkan sebuah nilai luhur yang melekat dalam diri setiap insan sejak ditiupkan ruh ke dalam jasadnya. Martabat adalah mahkota kehidupan, dan hanya mereka yang sadar akan nilainya yang akan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh.
Martabat: Nilai Ilahiah yang Melekat pada Manusia
Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk paling sempurna dan memuliakannya di atas makhluk lainnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Isra: 70)
Ayat ini menegaskan bahwa martabat manusia bukanlah hasil pencapaian, melainkan karunia. Namun, sebagaimana semua karunia, martabat bisa dijaga, bisa juga diabaikan. Mereka yang menghargai martabat akan hidup dalam kehormatan. Sebaliknya, mereka yang meremehkannya hidup dalam kehinaan—meski mungkin bergelimang harta dan popularitas.
Dua Golongan: Mereka yang Sadar dan yang Acuh
Di tengah masyarakat, kita bisa melihat dua jenis manusia:
- Mereka yang sadar bahwa martabat itu penting. Golongan ini akan berusaha keras menjaga sikap, perilaku, dan harga diri mereka. Mereka tahu bahwa satu tindakan tidak terhormat bisa merusak segalanya—nama baik, reputasi, bahkan hubungan dengan Tuhan.
- Mereka yang acuh tak acuh terhadap martabat. Golongan ini hidup dalam prinsip “yang penting enak”, tanpa peduli apakah tindakannya merendahkan diri sendiri, keluarganya, atau mencoreng nilai kemanusiaannya. Sikap “bodo amat” ini bukan hanya keliru, tapi juga menyimpang dari fitrah.
Agama: Penjaga Martabat yang Tegas
Agama hadir bukan sekadar memberi aturan, tetapi menjaga martabat manusia. Banyak larangan dalam agama sejatinya bertujuan mencegah kerusakan harga diri. Contoh nyata:
- Meminta-minta dilarang, karena menggambarkan ketergantungan yang merendahkan manusia sebagai makhluk mulia.
- Perzinaan diharamkan, karena merusak kehormatan pribadi dan keluarga. Bahkan dalam hukum Islam klasik, perbuatan ini dihukum sangat keras karena menghancurkan struktur martabat sosial.
- Kemaksiatan lainnya dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap nilai kemuliaan manusia.
Tuhan murka bukan karena manusia bersalah semata, tetapi karena manusia merelakan martabat sucinya hancur oleh perbuatan yang sebenarnya bisa dihindari.
Martabat Bukan untuk Diterima Saja, Tapi Diperjuangkan
Martabat bukan barang mewah yang bisa dibeli, bukan pula warisan turun-temurun. Ia adalah hasil dari kesadaran dan perjuangan. Orang yang menjaga martabat akan:
- Bekerja keras dengan jujur, bukan mengemis simpati.
- Menjaga lisannya, tidak berkata kotor atau dusta.
- Menjaga aurat dan perilaku, tidak mempermalukan dirinya di depan khalayak atau dunia maya.
- Menghindari aib, bahkan ketika tak seorang pun melihat.
Inilah perjuangan sunyi yang sering tak dihargai oleh dunia, tapi dicintai oleh Tuhan.
Ketika Martabat Dianggap Tidak Penting, Maka Fitrah Telah Rusak
Manusia normal secara fitrah ingin dihormati, ingin hidup dalam kehormatan. Jika seseorang sudah tidak peduli lagi apakah dirinya mulia atau hina, maka sesungguhnya ia sedang mengalami kerusakan pada fitrahnya. Ia bukan hanya kehilangan arah, tapi kehilangan inti dari kemanusiaannya.
Orang seperti ini bukan hanya tersesat, tetapi juga menyesatkan. Ia menjadi contoh buruk yang bisa meracuni generasi berikutnya.
Penutup: Martabat Adalah Amanah dan Identitas
Martabat adalah cermin jati diri. Ia adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dalam kesunyian, dijaga dalam keramaian, dijaga dalam ujian. Jangan sampai kita kehilangan martabat hanya demi kesenangan sesaat, popularitas palsu, atau kekayaan yang tidak halal.
Karena pada akhirnya, Tuhan memuliakan manusia dengan perbuatan yang mulia, dan menghinakan manusia dengan perbuatan yang hina. Jika kita ingin dimuliakan oleh-Nya, maka jagalah martabat kita sebaik-baiknya.
By: Andik Irawan