Betapa cerdasnya agama. Ia tidak hanya memerintahkan manusia untuk beribadah, tetapi juga mendidik jiwa agar tetap waras dalam menghadapi konflik. Di tengah dunia yang penuh ego dan emosi, agama hadir membawa peringatan yang tajam namun lembut:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Mā’idah: 8)
Ayat ini seolah ingin mengingatkan bahwa ancaman paling berbahaya dalam jiwa manusia bukan sekadar kejahatan lahiriah, tapi kebencian batiniah yang perlahan-lahan melumpuhkan akal sehat dan menghancurkan prinsip keadilan.
Kebencian: Racun Halus dalam Pikiran
Kebencian tidak datang secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari luka, mengakar dalam dendam, lalu mengaburkan batas antara benar dan salah. Seseorang yang hatinya dipenuhi kebencian, akan melihat lawannya sebagai musuh yang tak pernah bisa benar—apa pun faktanya. Bahkan ketika pihak yang dibencinya jelas menjadi korban, kebenciannya akan mencari-cari alasan untuk menolak mengakui.
Di sinilah logika berhenti bekerja. Di sinilah nalar dikalahkan oleh ego.
Sebuah Ilustrasi Sosial: Kecil Tapi Menggugah
Bayangkan dua orang yang pernah berseteru. Waktu berlalu, namun salah satu dari mereka menyimpan benci yang dalam. Suatu hari, anak dari si penyimpan dendam melempar batu ke rumah orang yang dibenci ayahnya. Pemilik rumah, tentu saja, meminta pertanggungjawaban.
Namun apa yang terjadi? Sang ayah bukannya minta maaf atau menyelesaikan dengan bijak. Ia justru mencari berbagai pembenaran: “Itu hanya anak-anak.”, “Kenapa marah? Rumahmu tak rusak!”, “Dia pasti memancing anakku dulu!” dan seribu dalih lainnya. Semua demi satu hal: menolak mengakui kesalahan karena hatinya lebih dulu memilih benci daripada adil.
Ini memang contoh kecil. Tapi sangat menggambarkan bagaimana kebencian membutakan akal, bahkan dalam perkara yang sangat jelas siapa salah dan siapa benar.
Agama: Menyelamatkan Manusia dari Bias Emosional
Agama—terutama Islam—tidak menghendaki manusia menjadi robot hukum tanpa hati. Namun, ia juga tidak mengizinkan hati yang terluka menjadi hakim atas kebenaran. Itulah sebabnya mengapa keadilan dalam Islam tak boleh didasari oleh perasaan pribadi. Bahkan terhadap musuh sekalipun, keadilan tetap wajib ditegakkan.
Kenapa? Karena keadilan adalah amanah, bukan pelampiasan. Ia adalah jalan menuju peradaban, bukan alat pembalasan.
Bila Hati Rusak, Pikiran Ikut Layu
Logika tidak bisa tumbuh di tanah hati yang gersang karena dendam. Sebaliknya, ia hanya bisa hidup dalam jiwa yang jernih—yang berani mengakui bahwa lawan sekalipun bisa berada di pihak yang benar.
Dan inilah tantangan terbesar manusia: menjaga kejernihan hati di tengah panasnya konflik.
Penutup: Menjadi Bijak Bukan Berarti Tak Pernah Marah
Setiap manusia bisa marah. Bisa kecewa. Bahkan bisa merasa terluka. Tapi menjadi manusia berakal sehat adalah tentang bagaimana kita menjaga kemarahan itu tidak berubah menjadi kebencian yang merusak nalar.
Karena ketika hati telah dibakar benci, maka logika akan terbakar bersamanya. Dan dari situ, keadilan akan menjadi korban pertama.
By: Andik Irawan