Dalam dunia hukum, hakim adalah simbol tertinggi dari keadilan. Ia duduk di kursi kehormatan bukan sekadar sebagai penguasa ruang sidang, melainkan sebagai penjaga keseimbangan antara dua kutub yang saling bertentangan: yang benar dan yang salah, yang dizalimi dan yang menzalimi. Namun, bagaimana jadinya jika seorang hakim kehilangan netralitas—bukan hanya dalam sikap, tetapi dalam hati?
Netralitas: Lebih dari Sekadar Formalitas
Netralitas hakim bukan hanya tuntutan prosedural; ia adalah fondasi moral dari sistem hukum. Seorang hakim bukan hanya dituntut untuk bersikap netral, tetapi juga berjiwa netral. Artinya, hatinya harus bersih dari kebencian, prasangka, atau keberpihakan. Bila tidak, seluruh proses hukum menjadi seperti panggung sandiwara, di mana keadilan hanyalah lakon, bukan kenyataan.
Logika Tidak Bisa Tumbuh di Atas Kebencian
Logika dan nalar adalah instrumen utama dalam menegakkan hukum. Namun, instrumen itu hanya dapat digunakan secara jernih jika hati si pemegangnya juga jernih. Bila sejak awal seorang hakim telah menyimpan rasa benci terhadap salah satu pihak, maka ia telah kehilangan kemampuan untuk melihat perkara secara objektif.
Akibatnya, ruang sidang berubah menjadi arena pemaksaan kehendak. Bukti yang kuat bisa diabaikan, argumen yang masuk akal bisa dikesampingkan, hanya karena hati sudah menentukan vonis bahkan sebelum palu diketuk.
Keadilan yang Rusak Oleh Kepentingan
Ketika keberpihakan atau kebencian merasuk ke dalam hati seorang hakim, maka sidang bukan lagi proses mencari kebenaran. Yang tersisa hanyalah upaya untuk membenarkan putusan yang telah dibuat secara sepihak. Satu pihak akan merasa dihancurkan bukan oleh kebenaran, tetapi oleh sistem. Dan di sinilah hukum kehilangan martabatnya.
Hakim dan Cermin Keadilan
Seorang hakim sejatinya adalah cermin. Ia harus memantulkan kebenaran secara utuh, tanpa bias. Namun, jika cermin itu tergores oleh dendam, kepentingan, atau tekanan kekuasaan, maka bayangan kebenaran akan tampak kabur. Dan yang lebih mengerikan: masyarakat pun kehilangan kepercayaan pada hukum sebagai alat keadilan.
Jalan Kembali ke Keadilan
Untuk menjaga kehormatan hukum, diperlukan:
- Ketulusan hati dalam memimpin sidang.
- Keberanian untuk menolak perkara jika ada konflik kepentingan.
- Sistem pengawasan etik yang benar-benar berjalan.
- Keterlibatan publik dalam mengawal integritas hakim.
Penutup
Seorang hakim yang kehilangan netralitas, sejatinya telah kehilangan jati dirinya sebagai pelayan keadilan. Hukum tidak butuh penguasa; hukum butuh jiwa-jiwa besar yang mampu menundukkan ego dan kepentingan pribadi demi satu tujuan: menegakkan keadilan setegak-tegaknya, walau langit runtuh.
By: Andik Irawan