Jiwa yang Bangga Membodohi: Borok luka Batin yang Tak Terlihat

Bagikan Keteman :


Ada fenomena psikologis yang tak kalah berbahaya dibanding kejahatan fisik: jiwa yang tidak merasa bersalah ketika membodohi orang lain. Bahkan, ada yang justru merasa puas, bangga, dan lebih hebat saat melihat orang lain terkecoh atau jatuh dalam perangkap tipu dayanya. Di balik senyuman yang terlihat cerdas itu, sebenarnya sedang berbicara jiwa yang rusak, lemah, dan kehilangan harga diri.

Kebanggaan Palsu dari Menjatuhkan Orang Lain

Ketika seseorang bangga karena berhasil memperdaya orang lain, itu bukan tanda kecerdasan—itu tanda keputusasaan batin. Ia mungkin terlihat percaya diri, namun sesungguhnya sedang mengemis validasi dari kemenangan semu. Ia senang karena merasa lebih tahu, padahal yang ia lakukan hanyalah menertawakan ketidaktahuan orang lain, bukan merayakan kebenaran.

Jiwa seperti ini bukan hanya tak punya empati. Ia juga telah kehilangan rasa hormat pada dirinya sendiri. Sebab orang yang memiliki harga diri tak akan pernah merasa terhormat saat menang dengan cara menjatuhkan orang yang lebih lemah.

Ketika Akal Lemah Bersekutu dengan Jiwa yang Rusak

Tak jarang, perilaku ini lahir dari akal yang lemah. Bukan karena ia bodoh secara akademik, tapi karena ia miskin kebijaksanaan dan kosong dari empati. Ia mungkin cakap dalam logika, tapi tumpul dalam nurani. Dan karena tak mampu membangun dirinya dengan kejujuran, ia memilih jalan pintas: membodohi agar terlihat lebih unggul.

Inilah tragedi sejati dari jiwa manusia: ketika kepintaran dijadikan alat untuk mempermalukan, bukan memberdayakan.

Kejahatan Halus yang Kita Anggap Biasa

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat sering kali menganggap ini sebagai kelicikan yang cerdas, bahkan merayakannya. Banyak yang menilai: “Ah, dia pintar main strategi.” Padahal, yang sedang kita saksikan adalah bentuk penghinaan paling halus terhadap kemanusiaan: menjadikan kebodohan orang lain sebagai bahan hiburan dan kesombongan.

Dari Sudut Pandang Spiritual: Gelapnya Hati yang Tak Tersentuh Hidayah

Dalam pandangan ruhani, kejiwaan seperti ini sangat berbahaya. Ia bukan hanya tak diberi taufik oleh Tuhan, tapi juga tertutup dari cahaya petunjuk. Mengapa? Karena hatinya telah dikunci oleh kesombongan dan kelicikan. Ia mungkin paham agama, fasih berbicara soal iman, tapi perbuatannya mengkhianati semua yang ia ucapkan. Dan di situlah, tanda bahwa ilmu yang ia miliki tidak membawa keberkahan, bahkan justru menjerumuskannya.

Refleksi: Kemenangan Sejati Adalah Saat Kita Menuntun, Bukan Menyesatkan

Mereka yang benar-benar kuat tidak membodohi, tapi mendidik. Mereka yang berjiwa mulia tidak merasa puas saat orang lain terkecoh, tapi bahagia saat orang lain tercerahkan. Sebab kemuliaan tidak tumbuh dari kemenangan semu, tapi dari keikhlasan untuk membangun orang lain—bahkan saat itu tak membawa pujian apa-apa.

Penutup: Ukur Diri, Jaga Jiwa

Jika dalam diri kita pernah muncul rasa senang ketika orang lain tertipu atau terbodohi, berhati-hatilah. Mungkin ada bagian dalam jiwa kita yang sedang rusak, sedang sekarat, dan butuh diselamatkan.

Sebab kehebatan bukan tentang siapa yang bisa kita tipu, tapi siapa yang bisa kita tuntun menuju cahaya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment