Ketika Dosa Menjadi Budaya: Refleksi atas Kemunduran Umat
Kemajuan zaman seharusnya selaras dengan kemajuan moral dan spiritual. Namun realitas hari ini menunjukkan arah sebaliknya: semakin modern masyarakat, justru semakin banyak nilai-nilai agama dan norma sosial yang diabaikan. Fenomena ini tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah sinyal bahaya yang mengarah pada kemunduran umat, bahkan menuju keruntuhan jika tidak segera disadari dan dibenahi.
1. Dulu Dosa, Kini Biasa: Hilangnya Rasa Malu
Salah satu indikator paling mencolok dari kemunduran moral umat adalah hilangnya rasa malu terhadap perbuatan dosa. Contoh yang sangat nyata adalah bagaimana perilaku perempuan berjoget di depan umum, yang dulu dianggap memalukan, kini menjadi tontonan publik yang lumrah—bahkan dibanggakan.
Media sosial telah mempercepat normalisasi dosa ini. Apa yang dulu tabu, kini menjadi tren. Apa yang dulu menjijikkan, kini dianggap hiburan. Nilai benar dan salah menjadi kabur karena masyarakat membentuk standar sendiri, bukan lagi berdasarkan petunjuk Tuhan.
“Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Hadis ini bukan ajakan, tapi peringatan. Ketika malu hilang, maka semua batas akan dilanggar.
2. Riba dan Suap: Ketika Ekonomi Tak Lagi Tunduk pada Tuhan
Contoh lain dari kemunduran adalah merajalelanya praktek riba. Dahulu, orang merasa berdosa dan malu jika berutang dengan bunga. Kini, dengan berbagai topeng seperti koperasi, pinjaman online, bahkan istilah “syariah” palsu, riba menjelma menjadi hal yang dianggap sah.
Demikian pula dengan suap menyuap. Budaya “uang pelicin” sudah menjadi rahasia umum, bahkan dianggap sebagai jalur cepat yang normal. Padahal, dua perkara ini secara tegas dilaknat dalam Islam.
“Allah melaknat orang yang memberi riba, yang menerima, pencatat, dan dua saksinya.” (HR. Muslim)
“Pemberi dan penerima suap masuk neraka.” (HR. Tirmidzi)
Ketika sistem ekonomi dan birokrasi kita dipenuhi oleh riba dan suap, maka masyarakat hidup dalam kerusakan struktural. Ini bukan hanya dosa pribadi, tapi kejahatan sosial yang terorganisir.
3. Masyarakat Tanpa Nilai: Rusak, Liar, dan Sulit Dikendalikan
Dampak dari semua kemunduran ini adalah terbentuknya masyarakat yang rusak secara nilai, yakni masyarakat:
- yang tidak lagi punya rasa takut kepada Tuhan,
- yang tidak peduli pada norma sosial,
- yang liar dan membentuk hukum sendiri,
- yang sulit dikontrol oleh hukum negara maupun agama.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan datang masa di mana manusia tidak bisa lagi saling menasihati, karena semua orang sibuk dengan kesesatan masing-masing.
Inilah potret masyarakat tanpa pegangan, tanpa arah, dan tanpa ruh iman.
4. Ketika Tuhan Bertindak: Saat Tak Ada Lagi yang Bisa Mencegah
Ketika manusia sudah tidak bisa dihentikan oleh dakwah, nasihat, atau teguran sosial, maka Tuhan sendiri yang akan bertindak. Sejarah sudah membuktikan: azab tidak turun hanya karena dosa, tetapi karena dosa telah dianggap biasa.
“Dan takutlah kalian akan fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Jika Tuhan sudah murka, maka tidak ada yang bisa menahan. Tidak ada teknologi, tidak ada kekuasaan, tidak ada ekonomi yang bisa menolong. Yang tersisa hanyalah penyesalan.
Kesimpulan: Kembalilah Sebelum Terlambat
Kemunduran ini bukan sekadar masalah individu, tapi penyakit umat. Jangan tunggu semua orang berubah. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Bangun kembali rasa malu. Tanamkan kembali takut kepada Allah. Tegakkan kembali nilai-nilai agama di tengah derasnya arus zaman.
Karena jika bukan kita yang menjaga agama, maka kelak agama tidak lagi menjadi cahaya, tapi hanya menjadi simbol—tanpa makna.
By: Andik Irawan